Aemilianus Mau telah resmi meraih gelar Doktor Keperawatan setelah berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan Dewan Penguji pada Selasa (13/06/2023) di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI), Depok, Indonesia.
Dr. Aemilianus Mau, S.Kep, Ns, M.Kep bersama keluarga mengakui pencapaian tersebut merupakan berkat cinta Tuhan. Karena itu pada Kamis (22/06/2023), Aemilianus Mau sekeluarga mengadakan misa syukur di kediamannya yang berada di daerah Ukitau-Liliba, Kota Kupang.
Misa syukur itu dipimpin oleh dua Imam Katolik, yaitu Romo Yonas dan Pater Sipri. Setelah misa berakhir, Aemilianus Mau membagikan pengalamannya selama menempuh pendidikan Doktor Keperawatan di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
“Ini cerita sekadar untuk memotivasi perawat muda dan anak-anak mahasiswa,” kata Aemilianus Mau.
Siapa itu Aemilianus Mau?
Sebelum kita melanjutkan apa pelajaran yang bisa dijadikan inspirasi dari pengalamannya saat menempuh studi Doktor Keperawatan, ada baiknya kita kenali dulu siapa itu Aemilianus Mau.
Putra dari pasangan Almarhum Agustinus Seran dan Almarhumah Herkulana Luruk itu memulai pendidikan formalnya di Sekolah Dasar Katolik (SDK) Kakaniuk dan lulus pada 1986. Setelah itu ia melanjutkan ke jenjang SMP di HTM Halilulik yang diselesaikan pada 1989.
Saat SMA, Aemilianus Mau mengenyam pendidikan di SMA Negeri 1 Atambua. Setelah dinyatakan lulus pada 1992, ia memutuskan untuk jadi perawat dan berkuliah di Akademi Keperawatan Kupang.
Setelah resmi menjadi perawat muda pada 1996, Aemilianus Mau langsung dipercayakan sebagai asisten dosen di Jurusan Keperawatan PAM-KT (Pendidikan Ahli Madya Kesehatan Terpadu) yang berlokasi di Dili, Timor-Timur. Karier awal ini berlangsung selama satu tahun hingga 1997.
Aemilianus Mau sempat menjalankan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan secara langsung kepada para pasien saat bertugas sebagai Kepala Ruangan UGD RSUD Bobonora, Timor-Timur pada tahun 1998-1999.
Setelah itu, ia kembali menjadi akademisi dengan menjadi Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Kupang sejak 1999 hingga saat ini.
Selama bertugas sebagai pendidik calon perawat ini, Aemilianus Mau juga terus meningkatkan pendidikan dengan menempuh pendidikan S1 Keperawatan dan Ners di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya yang diselesaikannya pada 2004. Ia juga menyelesaikan pendidikan Magister Keperawatan di almamater yang sama pada 2011.
Sebagai pembelajar sejati, ia terus mengembangkan diri dengan mengenyam pendidikan S3 Keperawatan di Universitas Indonesia. Dan pada 13 Juni 2023, ia telah resmi menambah gelarnya sebagai Doktor Keperawatan.
Organisatoris Ulung
Aemilianus Mau juga dikenal sebagai organisatoris ulung. Ia aktif dalam berbagai organisasi, khususnya organisasi profesi perawat: Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Aemilianus Mau mulai aktif terlibat dalam berbagai kegiatan PPNI sejak menjadi Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Kupang pada 1999. Berkat keuletannya dalam bekerja, ia kemudian dipercayakan menjadi pengurus PPNI Kota Kupang periode 2005-2010.
Karena dedikasi yang tinggi dalam bekerja dan mengembangkan organisasi, Aemilianus Mau mendapat kepercayaan lebih tinggi pada periode selanjutnya. Kalau sebelumnya ia menjadi pengurus di level kota/kabupaten, maka pada periode 2010-2015 ia mengemban tugas sebagai pengurus tingkat provinsi: DPW PPNI Provinsi NTT.
Jelang akhir periode pengurusan pada tahun 2015, saat Musyawarah Wilayah PPNI NTT digelar, Aemilianus Mau tampil pertama kali mencalonkan diri sebagai ketua. Setelah melewati proses pemilihan yang cukup ketat, pada akhirnya ia terpilih sebagai Ketua DPW PPNI Provinsi NTT periode 2015-2021.
Saat menjabat sebagai ketua, ada banyak pembenahan yang dilakukan dalam pengelolaan organisasi. Perubahan itu juga seiring reformasi organisasi yang dilakukan pengurus pusat (DPP PPNI) yang membuat sistem keanggotaan diubah dari cara konvensional menjadi digital.
Sejak saat itu, pendaftaran anggota PPNI bisa dilakukan secara daring. Setiap anggota bisa mendaftar secara mandiri dengan tetap melakukan konsultasi atau komunikasi dengan pengurus PPNI bagi di tingkat komisariat (DPK: Dewan Pengurus Komisariat), tingkat daerah kota/kabupaten (DPD: Dewan Pengurus Daerah), dan tingkat wilayah provinsi (DPW: Dewan Pengurus Wilayah).
Ada banyak capaian kerja yang diraih selama periode pertama masa kepemimpinan Aemilianus Mau sebagai Ketua DPW PPNI Provinsi NTT. Salah satu yang paling banyak mendapat perhatian adalah keberhasilan mendirikan gedung sekretariat “Graha PPNI NTT” yang berada di Jln. Nekafmese – Sungkaen, Kec. Maulafa, Kota Kupang, NTT.
Graha PPNI NTT itu merupakan gedung dengan desain modern dan memiliki fasilitas yang cukup memadai. Gedung itu memiliki fasilitas tempat parkir yang cukup luas dan sudah tertata rapi dengan paving blok.
Saat masuk melalui pintu utama, kita akan mendapati ruang lobi dengan sebuah meja panjang untuk resepsionis di sebelah kanan. Selanjutnya kita masuk ke area ruang tamu yang cukup jembar.
Di sisi kiri ruang tamu itu terdapat sebuah area yang cukup panjang dengan sebuah panggung di salah satu sudutnya. Tempat ini biasanya menjadi tempat rapat pleno pengurus atau acara lain yang berskala kecil.
Area kanan ruang tamu terdiri dari satu ruang kerja sekretariat yang berdampingan langsung dengan ruang kerja ketua. Selain ruang kerja tersebut, Graha PPNI NTT ini juga memiliki 3 kamar tidur dengan fasilitas sekelas hotel melati.
Kamar tidur itu disediakan bagi tamu, khususnya pengurus PPNI dari berbagai daerah di NTT ketika sedang berkegiatan di Kota Kupang. Penggunaan kamar ini tentu saja gratis. Calon pengguna tinggal berkoordinasi dengan pengurus di sekretariat agar disiapkan lebih baik.
Ada dua kamar mandi sekaligus toilet yang bisa digunakan untuk umum. Di area belakang juga ada dapur dengan fasilitas masak yang terbilang lengkap. Pendek kata, Graha PPNI NTT ini merupakan kantor yang nyaman untuk memfasilitasi kerja para pengurus.
Graha PPNI NTT itu diresmikan oleh Gubernur NTT, Viktor Laiskodat dan dihadiri pula oleh Ketua DPP PPNI, Harif Fadhillah. Karena itu, keberadaan rumah bersama perawat NTT itu cukup dikenal dan bisa disebut sebagai capaian DPW PPNI NTT periode 2015-2021 yang paling menonjol di antara hasil kerja lainnya.
Apresiasi datang dari berbagai pihak, termasuk kalangan perawat sendiri–khususnya pengurus PPNI dari berbagai daerah di NTT. Sebagian besar DPD PPNI Kabupaten/Kota se-Provinsi NTT puas dan hal itu terbukti saat musyawarah wilayah pada tahun 2022, Aemilianus Mau terpilih kembali–dengan perolehan suara mayoritas–sebagai Ketua DPW PPNI Provinsi NTT periode 2022-2027.
Aemilianus Mau juga tidak hanya berkiprah di NTT. Di level nasional, ia dipercayakan oleh DPP PPNI sebagai Anggota Departemen Pendidikan dan Pelatihan. Ia bersama pengurus lainnya berperan dalam menyusun berbagai perangkat peraturan yang mengatur tentang PKB (Pendidikan Keperawatan Berkelanjutan) dan berbagai peraturan lain yang berlaku secara nasional.
***
Pengakuan Aemilianus Mau sebagai organisatoris andal pernah disampaikan secara terbuka oleh Agustinus Ara–rekan sejawat perawat yang merupakan Ketua DPD PPNI Kota Kupang periode 2022-2027–saat kegiatan ToT PPNI pada Sabtu (06/05/2023) lalu.
Saat itu, Agustinus Ara menjadi moderator saat Aemilianus Mau menyampaikan materi umum tentang pengelolaan organisasi PPNI. Ketika sesi diskusi dimulai, Agustinus Ara menanyakan apa motivasi pribadi Aemilianus Mau sehingga bisa bersemangat mengurus PPNI dan bagaimana tips agar tidak bosan berorganisasi.
Aemilianus Mau pun menjawab, katanya ia cukup terganggu dengan penataan organisasi PPNI sejak pertama kali bergabung sebagai pengurus. Ia mengenang saat awal-awal menjadi pengurus, PPNI belum dikelola dengan baik. Karena itu, ia mengaku memiliki motivasi untuk terus membenahnya dengan cara aktif bekerja memajukan organisasi.
Selain itu, Aemilianus Mau mengaku resah juga dengan profesi perawat yang masih dianggap sebagai profesi “kelas dua”. Artinya kurang mendapat perhatian dari pemerintah maupun masyarakat. Karena itu, ia tergerak untuk membangun profesi ini agar lebih dihargai melalui jalur organisasi profesi PPNI.
“Ini motivasi paling dasar, perawat ini harus dihargai,” tegas Aemilianus Mau.
Lalu untuk tips tidak bosan berorganisasi, Aemilianus Mau menyarankan agar para pengurus merancang kegiatan secara berkesinambungan. Menurutnya, kegiatan organisasi itu direncanakan terus, tidak boleh putus.
“Minimal ada kegiatan setiap bulan,” tambahnya.
Selain itu, Aemilianus Mau juga menyarankan agar pengurus PPNI mau merangkul semua perbedaan yang ada, kemudian dikelola untuk memajukan organisasi profesi perawat.
“Perbedaan itu merupakan kekayaan bagi saya. Saya ingin merangkul semua perbedaan untuk berkarya sesuai kemampuan masing-masing dalam organisasi,” tandas Aemilianus Mau saat itu.
***
Selain itu, dalam berbagai kesempatan berinteraksi dengan pengurus PPNI dari berbagi level, Aemilianus Mau juga menekankan tentang pentingnya bekerja dengan metode kolektif-kolegial.
Menurutnya, apa pun kegiatan yang akan dijalankan oleh organisasi, wajib didahului dengan diskusi perencanaan bersama. Selain itu, setiap bidang yang ada dalam kepengurusan PPNI perlu mendapatkan pembagian tugas yang jelas sesuai minat dan kemampuan masing-masing pengurus.
Kegiatan sudah direncanakan perlu dilakukan atau dijalankan bersama. Pengurus juga harus melakukan evaluasi setiap kegiatan dan membuat laporan pertanggungjawaban yang baik. Itulah makna kerja “kolektif-kolegial” yang sering digaungkan Aemilianus Mau.
Aemilianus Mau juga sering mengingatkan perilaku caring yang menjadi ciri khas seorang perawat. Menurutnya, perilaku caring tersebut tidak hanya bisa diterapkan perawat saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dan keluarganya, tapi juga bisa diterapkan dalam menggerakkan roda organisasi.
“Wujud dari perilaku caring itu salah satunya tanggung jawab,” kata Aemilianus Mau.
Karena itu, ia memotivasi pengurus PPNI agar menunjukkan sikap caring dengan bertanggung jawab atas tugas yang diemban. Aemilianus Mau juga menyemangati pengurus agar setia dengan tugas yang diberikan organisasi dan lakukan dengan hati yang gembira.
Ia meyakinkan setiap pengurus, bawah dengan setia pada tanggung jawab kecil, maka selanjutnya pasti akan mendapat kepercayaan besar.
Selain itu, Aemilianus Mau juga mengingatkan bahwa organisasi itu ibarat sebuah pohon. Ada yang berperan sebagai akar, batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan sebagainya.
Seperti pohon itu juga, setiap bagian tentunya senang dengan peran masing-masing. Akar bahagia sebagai akar; batang gembira sebagai batang; dan seterusnya.
Menurut Aemilianus Mau, pengurus PPNI juga sebaiknya mensyukuri apa pun posisi di organisasi. “Lalu kerja sebaik-baiknya sesuai tanggung jawab yang dipercayakan,” imbuhnya.
Selama mengelola PPNI, Aemilianus Mau bersama pengurus lainnya terus berjuang memajukan profesi perawat. Ada banyak isu yang terus disuarakan PPNI kepada lembaga eksekutif maupun legislatif, khususnya untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan anggota.
Aemilianus Mau sebagai Ketua DPW PPNI Provinsi NTT tentunya menjadi orang terdepan dalam mengadvokasi kebutuhan perawat tersebut. Semangat kerjanya itu tergambar dalam moto hidupnya: “Berusaha menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.”
Perawat yang Caring
Tim Infokom DPW PPNI Provinsi NTT periode 2022-2027 pernah mewawancarai Sabina Gero, mantan Ketua DPW PPNI Provinsi NTT sekaligus pernah menjadi dosen dan pimpinan kerja Aemilianus Mau. Saat kami menanyakan kesannya terhadap Aemilianus Mau, ia menjawab itu perawat yang caring.
“Dia dari mahasiswa saya lihat, dia betul-betul mahasiswa yang hebat” ungkap Sabina Gero. “Jiwanya itu, dia merawat pasien itu bikin ke dia punya keluarga sendiri.”
Pengakuan salah satu tokoh keperawatan NTT itu rupanya terbukti pada diri Aemilianus Mau yang memiliki minat khusus pada sikap dan perilaku caring perawat. Ia tidak sekadar bicara tentang pentingnya caring bagi perawat dalam berbagai kesempatan kegiatan PPNI, tapi juga ikut meneliti dan mengembangkan ilmu caring itu dalam disertasinya saat studi S3 Keperawatan di FIK-UI.
Aemilianus Mau mengembangkan “Model Floramora” yang dapat meningkatkan perilaku caring perawat dalam disertasinya.
Kita tahu, teori caring dalam ilmu keperawatan pertama kali dikembangkan oleh Swanson. Berdasarkan kerangka kerja teori tersebut, Aemilianus Mau kemudian menggali kearifan lokal masyarakat NTT yang ada kaitannya dengan sikap caring perawat.
Ia melakukan penelusuran melalui tokoh masyarakat yang ada di Flores, Sumba, dan Timor. Aemilianus Mau yang bekerja sama dengan pembimbing dan pakar lainnya, pada akhirnya membentuk “Model Floramora” yang berbentuk seperti bunga berhelai lima.
Helai pertama itu terdiri dari 3H (Hase, Hakneter, dan Haktaek). Helai ini berisi tentang budaya komunikasi seperti menegur/menyapa, menghargai dan menghormati.
Helai kedua terdiri dari 4 N (Nawas, Nopil, Nezel, dan Nimil) yang berisi tentang budaya melayani dengan otak, hati, kepekaan, dan semangat.
Helai ketiga berupa kepercayaan “Halon no viar” yang merupakan budaya untuk menguatkan harapan dan kepercayaan pasien untuk sembuh melalui aktivitas spiritual sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.
Helai keempat berisi filosofi “Karawa ya ole atamu gai’mu kada manawara gu ole atamu” yang merupakan budaya melayani pasien seperti perawat ingin dilayani atau seperti melayani keluarga sendiri.
Helai kelima berisi nilai “Su’u papa suru, sa’a papa laka” yang bermakna sebagai budaya berbagi kasih/tanggung jawab dengan orang lain.
Model caring yang dikembangkan Aemilianus Mau itu kemudian diujikan di beberapa rumah sakit. Berdasarkan hasil evaluasi, Model Floramora itu terbukti bisa meningkatkan perilaku caring perawat yang pada gilirannya juga bisa meningkatkan kepuasan pasien dan keluarganya.
Saat hasil penelitian itu disajikan oleh Aemilianus Mau pada ujian promosi doktor, baik penguji maupun promotor, masing-masing memberikan pujian atas kinerja penelitian yang dilakukan Aemilianus Mau tersebut.
Menurut dewan penguji, Model Floramora yang dihasilkan melalui kajian budaya masyarakat NTT itu merupakan temuan baru yang memiliki nilai “novelty” yang tinggi.
Temuan itu juga diapresiasi karena Model Floramora itu juga terbukti meningkatkan sikap dan perilaku caring perawat yang pada gilirannya berdampak pada kepuasan pasien atau pengguna layanan kesehatan. Karena itu, dewan penguji mendorong Aemilianus Mau untuk terus mengembangkan penelitian yang sudah dimulai dengan baik tersebut.
Prof. Dr. Rr. Tutik Sri Hariyati., SKp., MARS selaku promotor utama bercerita tentang proses perjuangan yang dilakukan mahasiswa bimbingannya, Aemilianus Mau, saat memberi kata sambutan setelah pembacaan keputusan tim penguji yang menetapkan Aemilianus Mau sebagai Doktor Keperawatan. Menurutnya, ia melakukan pembimbingan sejak Juli 2020 lalu.
Prof. Tutik mengakui perjuangan yang dilakukan Aemilianus Mau tidak mudah, sebab harus melakukan pengumpulan data penelitian ketika pandemi COVID-19 sedang melanda dunia. Tapi berkat kegigihan dan kerja keras, pada akhirnya Aemilianus Mau bisa melewati semua prosesnya dengan baik.
“Hari ini adalah saat yang kita nantikan bersama,” kata Prof. Tutik. “Sekali lagi selamat ya, Dr. Willy (sapaan akrab Aemilianus Mau), kami ikut bangga….”
Pada kesempatan itu, Prof. Tutik menekankan lagi tentang pentingnya temuan riset panjang yang dilakukan Aemilianus Mau. Menurutnya kebaruan atau novelty dari studi yang dilakukan oleh Aemilianus Mau sudah tidak diragukan lagi karena mengusung budaya asli NTT yang tentunya memiliki keunikan tersendiri.
Prof. Tutik berharap agar hasil penelitian itu harus dimanfaatkan secara luas, tidak hanya untuk kepentingan masyarakat NTT, tapi juga bisa diangkat untuk kepentingan nasional maupun kemaslahatan dunia. Karena itu, Prof. Tutik berpesan kepada mahasiswa bimbingannya itu untuk terus meneliti, memublikasi hasil penelitian, dan memberi dampak bagi kepentingan masyarakat umum.
Perjuangan Iman
Kita kembali pada malam ketika misa syukur itu diadakan, saat Aemilianus Mau berbagi pengalaman pribadinya selama menempuh pendidikan doktor.
Misa syukur malam itu dipimpin dua pastor, yaitu Romo Yonas dan Pater Sipri. Bacaan Injil yang dibaca Pater Sipri malam itu berisi mengenai Yesus yang mengajarkan cara berdoa pada murid-muridnya.
Saat berkhotbah, Pater Sipri bercerita kalau ia dan Aemilianus Mau merupakan kawan satu sekolah ketika SMA. Karena itu, mereka selama berapa tahun terakhir di Kupang saling mengunjungi satu sama lain.
Pater Sipri mengaku kalau keduanya saling berkonsultasi. Pater Sipri berkonsultasi masalah kesehatan ke Aemilianus Mau yang merupakan seorang perawat. Sebaliknya Aemilianus Mau berkonsultasi kepada Pater Sipri terkait kesehatan spiritual.
Pater Sipri lantas menilai, Aemilianus Mau sekeluarga selalu mengandalkan Tuhan dalam segala urusan. Karena itu, selanjutnya Pater Sipri berbicara mengenai cara berdoa.
Menurut Pater Sipri, Allah mengetahui segala apa yang dipikirkan atau diinginkan manusia. Karena itu, sebelum kita berdoa atau meminta sesuatu dalam doa, Tuhan sebenarnya sudah mengetahui.
“Kalau kita sudah mengenal Bapa (Tuhan), begitu kita minta pasti diberi,” kata Pater Sipri.
Karena itu, ia menyarankan agar jangan sampai berdoa seperti orang yang tidak kenal dekat dengan Tuhan. Tapi, Pater Sipri juga mengingatkan bahwa kadang doa juga tidak terkabul. Sebagai orang yang kenal dengan Tuhan, menurut Pater Sipri, harusnya kita bisa menerima hal itu sebagai bagian dari rencana Tuhan yang indah.
“Biarlah kehendak Allah yang terjadi…,” imbuhnya. “Pengalaman kegagalan mestinya membuat kita makin dekat dengan Tuhan.”
***
Ketika misa syukur itu berakhir, Aemilianus Mau mulai berbagi pengalaman. Ia mengaku bahwa sebelumnya, ketika selesai S1 dan S2, ia tidak menyelenggarakan misa syukur. Tapi setelah melewati pendidikan S3 yang cukup berat, ia berpikir perlu mensyukuri rahmat Tuhan tersebut melalui perayaan misa syukur.
“Semua ini berkat kemurahan Tuhan,” ungkap suami dari Maria Walburga Bhoki, SST, M.Kes tersebut.
Aemilianus Mau mengakui masa studi yang ditempuhnya cukup lama, yakni mencapai 5 tahun. Meski demikian, ia tetap bersyukur. Sebab dari 20 orang mahasiswa seangkatan, ia orang ke-7 yang sudah berhasil meraih gelar doktor.
“Ini berkat dukungan Bapak/Ibu semua dan kuatnya Tuhan,” kata Aemilianus Mau yang disambut tepuk tangan hadirin.
Berkali-kali Aemilianus Mau mengakui besarnya kasih Tuhan dalam perjalanannya melewati masa pendidikan. Menurutnya ia mendapat banyak tantangan sejak awal mendaftar sebagai mahasiswa S3, tapi berkat doa, semuanya mendapatkan solusi yang terbaik.
Ia mengaku bahwa tes masuk S3 Keperawatan di FIK-UI baru bisa lolos pada percobaan kedua. Baru senang sebentar, tiba-tiba dapat kabar dari PPSDM Kemenkes RI kalau beasiswa tidak bisa diberikan karena program yang dipilih merupakan Pendidikan Jarak Jauh (PPJ).
“Saya berdoa…, kemudian ada yang mau bantu dari DPP PPNI,” sambung ayah dari BRIPDA Redemtus Deferento Seran Mau, Anjelica Decandra Mau, dan Petra Ade Triani Mau itu.
Singkat cerita, DPP PPNI memfasilitasi pertemuan dengan pihak kampus. Lalu pihak kampus menjelaskan kepada pemberi beasiswa bahwa program pendidikan S3 Keperawatan itu bukan PJJ, tapi pendidikan yang menggunakan metode hybdrid.
Pihak pemberi beasiswa akhirnya menerima penjelasan tersebut dan Aemilianus Mau merasa lega karena menerima beasiswa sebagai tugas belajar.
Tantangan kedua ia rasakan setelah melakukan ujian proposal penelitian. Menurut Aemilianus Mau, waktu pengajuan proposal relatif lancar. Ia orang ke-6 dari 20 mahasiswa yang menyelesaikan ujian proposal.
Tapi, begitu pulang ke Kupang untuk memulai penelitian tahap pertama, pandemi COVID-19 mulai melanda. Aemilianus Mau mengaku, selama masa pandemi itu, progres penelitiannya macet.
Ia mengaku stres. Proses konsultasi daring dengan pembimbing juga tidak lancar. Apalagi beberapa pembimbingnya sempat terkonfirmasi positif COVID-19.
Aemilianus Mau mengalihkan perhatiannya dengan kembali mengurus PPNI dan lebih sering bekerja di kebun. “Biar tidak mati cepat atau stres,” itu jawaban yang sering ia lontarkan kalau ada yang bertanya dengan kebiasaan barunya saat itu.
Setelah memasuki tahun ke 4 masa studi, barulah Aemilianus Mau memulai penelitian tahap 1. Ia bersyukur karena prosesnya lebih lancar, apalagi hasil penelitian tahap 1 itu berhasil diterbitkan di jurnal internasional bereputasi.
Ia mengaku banyak juga rekan-rekannya yang kagum dengan progres yang dicapainya. Bahkan mereka bertanya apa rahasianya dan Aemilianus Mau hanya menjawab: “Saya buat saja apa yang saya bisa, selebihnya urusan Tuhan.”
Tantangan ketiga ia rasakan ketika mulai menyusun”Model Floramora”. Ada banyak proses yang ia lewati, hingga akhirnya berkesimpulan bahwa menempuh pendidikan tidak sekadar mengasah kemampuan intelektual. Tapi juga mengasah kemampuan emosional, sosial, spiritual, dan aspek kecerdasan lainnya.
Aemilianus Mau mengaku proses ujiannya berlangsung lama. Meski demikian, ia akhirnya puas karena apa yang ia teliti dinilai bagus oleh tim penguji. Model Floramora yang dihasilkannya bisa meningkatkan perilaku caring perawat yang pada gilirannya meningkatkan kepuasan pasien dan keluarganya.
“Meski lama, tapi hasilnya bagus, bisa dipakai untuk diterapkan di seluruh dunia,” imbuhnya.
Kepada perawat muda dan mahasiswa keperawatan yang sempat hadir dalam misa syukur tersebut, Aemilianus Mau memberi motivasi agar terus mengembangkan diri. Ia berharap ada generasi perawat berikutnya yang terinspirasi dan berani melanjutkan pendidikan hingga strata paling tinggi (S3).
Dan untuk bisa meraih kesuksesan dalam bidang pendidikan, Aemilianus Mau menekankan tentang pentingnya kecerdasan sosial, emosional, dan spiritual. Tentunya juga tetap dibekali dengan kecerdasan intelektual.
Aemilianus Mau juga menekankan tentang pentingnya peran dan dukungan keluarga. Termasuk dukungan para sahabat, rekan kerja, dan pihak lainnya.
Keberhasilan Aemilianus Mau dalam bidang akademik, organisasi, keluarga, dan kehidupan sosial lainnya semakin mengukuhkan karakter dirinya sebagaimana moto yang selalu menyemangati hidupnya: Berusaha menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
Penulis: Saverinus Suhardin (Infokom DPW PPNI NTT)