Oleh: José Nelson Maria Vidigal, S.Kep.,Ns
(Perawat, bekerja di Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng)
Sejak masa pandemi Covid-19, banyak orang tua yang enggan membawa anaknya mengikuti imunisasi dasar atau tambahan (booster) tepat pada waktunya. Ketika sejauh ini anak mereka “baik-baik” saja tanpa imunisasi, mereka semakin yakin bahwa tanpa imunisasi pun anak mereka sehat dan baik-baik saja.
Memang benar, bahwa imunisasi telah menurunkan atau bahkan melenyapkan beberapa penyakit seperti campak, rubela, varisela, gondongan, tuberkulosis, polio, Bacillus Calmette Guerin (BCG), difteri, pertusis, hepatitis B dan penyakit lainnya. Namun, perlu diingat, bahwa yang hilang bukan berarti tidak akan muncul lagi di kemudian hari tanpa imunisasi.
Sehingga, ketika suatu saat anak yang tidak diimunisasi itu bertumbuh remaja/dewasa dan sedang mengalami penurunan daya tahan tubuh, maka berbagai penyakit oportunistik (khususnya yang telah disebutkan di atas) berpeluang menyerang anak tersebut.
Untuk itu, imunisasi dapat dijadikan sebagai tameng antisipatif bagi kesehatan anak di kemudian hari. Imunisasi memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah infeksi penyakit tertentu, tidak menimbulkan keparahan, kecacatan dan kematian yang lalai di kemudian hari.
Pengalaman saya dalam sebuah kegiatan posyandu, seorang ibu menyebutkan bahwa, anaknya sudah diimunisasi hepatitis B secara lengkap (0, 2, 3, 4 bulan dan 18 tahun), tetapi ketika tamat SMA (19 tahun) anaknya terdeteksi menderita hepatitis B.
Kita ketahui, bahwa saat seorang anak lahir, ia langsung mendapat imunisasi dasar hepatitis B dan booster. Efektivitas vaksin tersebut bisa bertahan sampai 20 tahun, bahkan ada yang bisa bertahan seumur hidup. Lantas, mengapa terdapat kejadian semacam itu?
Jika kasusnya demikian, atau berlaku untuk penyakit lain yang menyerupai (sudah diimunisasi) tetapi masih terpapar penyakit, maka salah satu hal yang patut dicurigai oleh seorang perawat terletak pada keadaan vaksin pada saat diimunisasi dulu.
Penyimpanan vaksin yang tepat sangat krusial untuk efektivitas vaksin tersebut. Jika vaksin tidak disimpan dalam suhu penyimpanan yang sesuai, sebaiknya jangan digunakan. Sudah pasti bahwa vaksin tersebut tidak efektif dalam mencegah penyakit. Terkadang jarak dan waktu ke tempat posyandu menjadi kendala terjaganya suhu vaksin agar tetap aman. Hal yang perlu disiasati ialah penggandaan boks penyimpanan vaksin beserta zat pengawetnya.
Saat ini, imunisasi lebih difokuskan pada perpindahan dari terapi penyakit menjadi pencegahan penyakit. Imunisasi erat kaitannya dengan keperawatan anak. Asuhan keperawatan anak dapat terjadi dalam berbagai tatanan perawatan, baik tatanan perawatan akut di rumah sakit maupun perawatan anak sehat dan sakit di komunitas, seperti klinik dokter, sekolah, rumah ibadah, dinas kesehatan, puskesmas, dan bahkan di rumah anak sendiri.
Peran perawat dalam konteks ini ialah menggabungkan seluruh asuhan keperawatan dasar dengan strategi khusus untuk mencapai hasil yang positif bagi anak, keluarga, komunitas, dan demi terwujudnya kesehatan bangsa dan dunia. Strategi keperawatan diperlukan untuk mempersiapkan anak dan keluarga mereka terhadap pengalaman imunisasi. Tujuannya ialah untuk meminimalkan efek negatif. Mengidentifikasi kebutuhan anak melalui perilaku non verbal, kemudian memvalidasikan informasi dengan interpretasi yang akurat kepada orang tua adalah salah satu bentuk asuhan keperawatan anak yang holistik.
Pemahaman perawat tentang prinsip imunisasi, penggunaan vaksin secara tepat dan hambatan-hambatan terhadap imunisasi akan membantu perawat menjadi mitra keluarga untuk memberikan tingkat perlindungan tertinggi terhadap penyakit pada anak. Anak memiliki pemahaman yang terbatas dan mekanisme koping yang rendah ketika berpapasan dengan imunisasi.
Bagi mereka, imunisasi adalah sumber stresor yang bisa menimbulkan trauma. Apalagi beberapa imunisasi yang bersifat booster. Semuanya bisa berdampak negatif bagi fisiologis dan psikologi anak bila perawat tidak mencermatinya. Anak bisa menangis seharian karena cedera fisik akibat suntikan yang menimbulkan tanda-tanda infeksi, ansietas, serta ketakutan berhubungan dengan keseluruhan proses imunisasi.
Dampak psikologis yang lebih luas ialah, bahwa akan terjadi kehilangan kontrol secara umum terhadap kehidupan anak, perubahan perilaku dan emosi (Kyla, 2012). Oleh karena itu, pelayanan imunisasi perdana perawat akan menentukan tindakan selanjutnya bagi anak dan keluarga. Kesan yang baik dari keluarga terhadap perawat akan diuji selama pengalaman imunisasi. Jika kesannya baik, akan digunakan sebagai strategi koping yang khas bagi anak dan keluarga untuk diterima pada imunisasi selanjutnya.
Kejadian khas lain yang sering terjadi ialah, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Gejala yang sering muncul ialah, kulit bengkak, membenjol keras, demam, nyeri dan susah makan atau minum Air Susu Ibu (ASI). Untuk menangani kasus ini, biasanya bayi atau anak langsung diberikan obat penurun panas dan pereda nyeri pada saat itu juga.
Apabila obat yang diberikan tidak mempan, maka terapi komplementer lain yang perawat sarankan ialah kompres area yang bengkak/sakit menggunakan air hangat atau mengolesi dengan bawang merah yang telah diulek di lokasi yang bersangkutan. Bawang merah memiliki senyawa sikloalin yang bersifat antipiretik (penurun panas), dan sebagai metabolik sekunder yang memiliki senyawa flavonoid yang bersifat antiinflamasi (Zainab, 2021).
Rasionalisasi dari tindakan ini bahwa, suhu yang hangat dapat memperlebar pembuluh darah sehingga aliran darah dan suplai oksigen mudah menjangkau bagian tubuh yang bengkak/sakit tersebut. Saat otot relaksasi karena terapi tersebut, nyeripun dapat berkurang.
Peran Pemerintah Daerah
Kesuksesan apapun di abad ke-21 ini, selalu memegang prinsip kolaboratif. Setiap instansi yang sukses butuh membangun jejaring dengan instansi lain demi tujuan kesejahteraan khalayak.
Mengingat imunisasi sangat penting bagi kesehatan anak dan pembangunan daerah, setiap instansi pemerintah terkait mesti bekerja sama untuk mengeluarkan sebuah Peraturan Daerah (Perda) agar setiap anak yang hendak masuk Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), atau bahkan Sekolah Menengah Atas (SMA) wajib menunjukkan kartu imunisasi dasar yang lengkap sebagai syarat masuk.
Sangat mustahil sebuah pemerintahan dikatakan maju di berbagai sektor kehidupan masyarakat tetapi mengabaikan sektor kesehatan, khususnya imunisasi pada anak yang menjadi penerus tulang punggung kemajuan suatu daerah. Pemerintah Daerah (Pemda) yang bijak tentu akan mempertimbangkan dan mengindahkan masukan ini demi kemaslahatan bersama.
Pemda yang baik adalah yang memiliki jiwa altruistis dan filantropis. Dengan demikian, setiap keluarga akan merasa bahwa kesehatan adalah esensi kehidupan yang mampu menentukan eksistensi sektor kehidupan lain, sehingga tidak malas, tidak lalai lagi menghantarkan anaknya ke posyandu terdekat untuk diimunisasi secara rutin dan lengkap.
Imunisasi juga harus dibangun atas dasar pengetahuan yang baik oleh keluarga-keluarga, karena ketika keluarga-keluarga memiliki pemahaman yang baik, maka inisiatif untuk imunisasi tidak lahir dari sebuah pemaksaan, melainkan sukarela dan kewajiban. Suatu daerah yang sadar sehat melalui imunisasi akan memberikan dampak investasi untuk kesehatan bangsa dan kesehatan dunia. Mari sukseskan BIAN!
***
(Tulisan ini merupakan salah satu tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis dalam rangka IND dan BIAN yang diselenggarakan DPW PPNI Provinsi NTT. Jika Anda suka dengan tulisan ini, silakan bagikan di media sosial Anda, karena salah satu penilaian diambil dari seberapa banyak tulisan ini dibaca orang. Selain itu, jika Anda tertarik ikut lomba menuli ini juga, klik informasinya di sini)