Oleh: Elisabeth Janggu
(Mahasiswi Jurusan Sarjana Keperawatan Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng)
Tahun 2022 ini, Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) dijalankan dalam dua tahap. Tahap pertama dimulai bulan Mei, meliputi beberapa provinsi yang ada di Pulau Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Sedangkan tahap kedua berlangsung pada bulan Agustus, meliputi Pulau Bali dan Pulau Jawa.
Alasan dilakukan BIAN ini karena selama masa pandemi Covid-19 kegiatan ini mengalami penurunan. Untuk menyukseskan kegiatan ini, tentu melibatkan peran orang tua dan perawat. Dengan melihat jumlah perawat yang semakin membeludak di setiap puskesmas, saya yakin bahwa BIAN ini pasti sesuai target yang diharapkan.
Namun, benarkah jumlah perawat yang membeludak berbanding lurus dengan kinerja yang diharapkan oleh masyarakat? Sebagai seorang calon perawat yang sedang kuliah, hal yang saya khawatirkan ketika tamat dan menjadi seorang perawat adalah, apakah saya menerima gaji yang laik dengan profesi saya yang sangat mulia ini?
Kekhawatiran ini kian membuncah kala tamatan perawat akhir-akhir ini kian menjamur dan lebih banyak yang bekerja sebagai tenaga sukarela dan Tenaga Harian Lepas (THL) di setiap Puskesmas dengan gaji yang tidak sepadan dengan profesi ini. Gaji yang sedemikian tak sepadan itu, dituntut lagi membayar iuran Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) yang terkesan konglomerat. Apa laik?
Tengoklah masa pandemi Covid-19 yang sudah hampir menjadi kenangan ini, garda terdepan itu perawat. Sebagai manusia, perawat pasti takut menghadapi virus ganas ini, tetapi profesi nan mulia ini menggugah hati untuk terus diemban. Berkorban demi menyelamatkan banyak nyawa, hingga nyawa sendiri pun menjadi korban.
Tapi apa balasannya? Habis manis sepah dibuang. Selama pandemi ada tunjangan untuk perawat, setelah pandemi? Begitukah cara pemerintah mengapresiasi profesi suci nan mulia ini? Ataukah profesi perawat adalah profesi oportunis yang seenaknya dimanfaatkan pemerintah. Bila ada pandemi Anda (perawat) di depan, tidak ada pandemi Anda biasa saja. Dalam istilah percintaan “datang saat ada maunya”.
Sebagai seorang calon perawat, saya sangat tidak setuju profesi suci nan mulia ini diperlakukan demikian oleh pemerintah. Dalam pandangan saya, ada dua hal yang mampu mengubah derajat profesi kita agar diapresiasi secara tidak biasa, kalau tidak mau dibilang luar biasa laik.
Pertama, kita mempunyai wadah PPNI, baik di daerah maupun di pusat. Para pemangku jabatan di PPNI bisa menyampaikan aspirasi sejawatmu kepada pemerintah, bahwa profesi ini mulia, karena mengurus banyak nyawa sebagai taruhannya, bahkan dalam situasi tertentu nyawa perawat pun ikut dipertaruhkan. Bolehkah kuota dan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)-nya ditambahkan lagi, sekaligus gaji para THLnya dilipatgandakan?
Kalau pemerintah bergeming, sesekali pakai cara ekstrim, seluruh perawat mogok kerja seharian, lalu kita tunggu reaksi pemerintah. Saya yakin, mengancam mogok saja pemerintah pasti ciut dan mau bernegosiasi untuk mendengarkan keluhan perawat. Para buruh saja hampir demo menuntut kenaikan gaji setiap 1 Mei. Perawat juga bisa ko, sesama omnivor. PPNI daerah maupun pusat, perjuangkanlah nasib sejawatmu terlebih dahulu barulah urus iuran PPNI.
Kedua, kinerja. Ketika perawat menuntut apresiasi, sekurang-kurangnya harus dibuktikan lewat kinerja yang sepadan. Tingkatkan angka imunisasi tahunan. Berprofesionallah dalam melayani pasien umum dan pasien pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kurangi lama waktu menunggu pasien transisi dari IGD ke ruangan. Kurangi angka kematian ibu dan anak di setiap Rumah Sakit dan Puskesmas. Kurangi angka kematian keseluruhan kasus per tahun di setiap Rumah Sakit dan Puskesmas. Kurangi kata-kata yang melukai hati pasien dan sederet litani lainnya yang dikeluhkan masyarakat.
Terkadang sebagai mahasiswi, saya bingung, antara mendahulukan apresiasi (gaji) atau kinerja perawat. Kalau di Shopee COD, ada barang ada uang. Kalau di perawat, ada kinerja, ada apresiasi. Mungkin moto tersebut bisa diterapkan. Tetapi apakah mungkin disebut profesi yang profesional?
Sebagai mahasiswi calon perawat, saya tidak mau menjadi perawat yang “standar”; yang setelah tamat mengikuti pola kerja monoton di tempat kerja (Rumah sakit atau Puskesmas). Jika di setiap puskesmas berlimpah THLnya, perbanyaklah melakukan kunjungan rumah (home care). Lakukan pendataan mengenai keluarga yang anaknya belum divaksin, kemudian ajaklah mereka ke tempat Posyandu. Jika kondisi mereka tidak memungkinkan untuk datang ke Posyandu karena alasan yang tidak bisa dielakkan, perawat bisa melakukan imunisasi di rumah tepat pada waktunya. Sebelum kunjungan, usahakan melakukan kontrak waktu terlebih dahulu agar tidak terjadi penolakan atau perawat menemukan rumah yang dalam keadaan tak berpenghuni karena penghuninya bepergian.
Jika semua tenaga THL setiap Puskesmas di seluruh wilayah NTT ini melakukan hal yang sama, saya yakin bahwa kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisasi dan kesehatan akan terbangun, BIAN tahun ini dan tahun-tahun mendatang pasti sukses sesuai harapan pemerintah pusat.
Hal semacam ini tentu tidak bisa dilakukan perawat yang “standar”, karena banyak pertimbangan yang akan dikeluhkan, termasuk apresiasi apa yang didapat setelah berkorban. Secara realistis dapat dikatakan bahwa, tidak ada pelayanan yang gratis, tetapi yang gratis bukan berarti sia-sia. Tentu ada nilai di balik pengorbanan itu, membawa banyak orang menuju investasi masa depan yang cerah, yakni kesehatan.
Kalau kita tidak mau menjadi perawat yang standar, hal utama yang dibangun adalah keikhlasan dalam bekerja. Ikhlas dalam bekerja berarti mencintai pekerjaan. Ikhlas dibangun atas dasar prinsip dan komitmen pribadi. Ini bertentangan dengan profesionalisme, karena profesionalisme butuh apresisasi. Tetapi perawat berkelas mampu beradaptasi dalam dua situasi tersebut karena memaknai perawat sebagai profesi suci nan mulia berdasarkan prinsip hidup dan komitmen pribadi.
Perawat berkelas membuktikan kinerja terlebih dahulu barulah menuntut apresiasi. Apresiasi dan pengakuan yang sebenarnya datang dari masyarakat. Jika perawat telah mendapatkan pengakuan dan tempat di hati masyarakat, apresiasi akan datang dengan sendirinya dalam berbagai bentuk. Profesi suci nan mulia ini memang harus dijalankan dengan keikhlasan, sehingga ketika kita tidak mendapatkan apresiasi yang laik, kita tidak merasa terluka dan kalaupun mendapat apresiasi yang laik kita tetap dan terus bersyukur.
Apakah sebagai perawat kita akan tetap bertahan dengan predikat perawat “standar” yang mengikuti ritme kerja yang sudah terpola, atau kita ingin naik kelas menjadi perawat yang berkelas dengan profesionalisme dan komitmen pribadi yang kuat? Silahkan tentukan kelasmu dari sekarang demi sebuah pengakuan dan apresisasi yang laik.
***
(Tulisan ini merupakan salah satu tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis dalam rangka IND dan BIAN yang diselenggarakan DPW PPNI Provinsi NTT. Jika Anda suka dengan tulisan ini, silakan bagikan di media sosial Anda, karena salah satu penilaian diambil dari seberapa banyak tulisan ini dibaca orang. Selain itu, jika Anda tertarik ikut lomba menuli ini juga, klik informasinya di sini)