Dewan Pengurus Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur (DPW PPNI NTT) yang bekerja sama dengan Unicef dan Dinas Kesehatan Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Nusa Tenggara Timur (DinkesDukcapil NTT) melakukan berbagai upaya agar eliminasi malaria di Sumba dapat tercapai.
Workshop Kelompok Kerja Eliminasi Malaria Tingkat Kabupaten di Pulau Sumba merupakan salah satu kegiatan untuk mancapai tujuan tersebut yang berlangsung di Sumba Timur pada Jumat (29/04/2023) lalu.
Kegiatan yang berlangsung secara luring dan daring melalui Zoom itu dihadiri Bupati Sumba Timur, Kepala Unicef Regional NTT dan NTB, Ketua DPW PPNI NTT, perwakilan DinkesDukcapil NTT, Ketua Tim Kerja Malaria Kemenkes RI, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten sedaratan Pulau Sumba, dan segenap pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya.
Yudistira Yewangoe, Kepala Unicef Regional NTT dan NTB, menceritakan beberapa pengalaman atau tantangan yang dihadapi Unicef yang berkolaborasi dengan DPW PPNI NTT dan DinkesDukcapil NTT dalam melakukan upaya eliminasi malaria di Sumba, saat memberikan kata sambutan pada seremonial pembukaan.
Menurutnya, saat petugas melakukan kunjungan rumah dan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium (bagian dari penemuan kasus secara aktif), ada masyarakat yang bertanya mengenai surat tugas dan sebagainya. Intinya ada penolakan awal, tapi setelah diberikan penjelasan baik, akhirnya bisa kooperatif.
Berdasarkan cerita tersebut dan beberapa pengalaman yang lain, Yudistira Yewangoe lantas menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam upaya mengeliminasi malaria di Pulau Sumba. Selain itu, ia mengaku selama ini Unicef bersama tim kerja erus melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk bisa mencapai tujuan eliminasi malaria.
Ia mengaku hasilnya mulai terlihat. Karena itu, Yudistira Yewangoe mengapresiasi semua komponen yang sudah bekerja sama dengan baik. Salah satu indikatornya ada inovasi berupa peraturan desa yang mendukung upaya pengentasan malaria.
Yudistira Yewangoe mengungkapkan kepada peserta workshop bahwa, tantangan penangan malaria sangat banyak dan membutuhkan sumber daya yang besar. Tapi, dirinya mengaku optimis dengan semangat yang ditunjukkan para hadirin. Ia yakin, dengan semangat dan komitmen yang sama, pertemuan tersebut bisa menghasilkan kesepakatan bersama untuk meningkatkan capaian program eradikasi malaria di Sumba.
“Langkah kecil ini bisa berdampak baik ke depan. Semoga pertemuan ini menghasilkan rencana aksi bersama,” tutup Yudistira Yewangoe.
Nyamuk Musuh Bersama
Bupati Sumba Timur, Drs. Khristofel Praing, M.Si, mengucapkan terima kasih kepada Unicef bersama tim kerja yang menyelenggarakan workshop tersebut. Atas nama pemerintah ia berharap pertemuan tersebut bisa menghasilakan rencana aksi yang bermanfaat bagi penanganan masalah malaria.
“Mungkin selama ini ada tahap yang terlewati, sehingga perlu didiskusikan lagi langkah-langkah penanganannya. Kalau tahap A tuntas, baru ke tahap B, dan seterusnya,” kata Khristofel Praing.
Pada kesempatan itu, Khristofel Praing menyinggung tentang perayaan Hari Malaria Sedunia yang pada tanggal 24 April 2023 lalu. Ia berharap, adanya peringatan hari khusus seperti itu memberi semangat bagi semua pihak untuk mewujudkan bebas malaria pada tahun 2030.
“Ini tinggal 7 tahun lagi bebas. Apakah tren penyakitnya sudah menurun?” lanjut Khristofel Praing.
Terlepas dari berbagai tantangan yang ada, Bupati Khristofel Praing mengapresiasi apa yang sudah dikerjakan Unicef bersama tim kerja yang lain. Ia berharap pertemuan tersebut bisa mengubah cara berpikir masyarakat, bahwa nyamuk itu jadi musuh bersama.
“Semoga workshop kali ini bisa menginspirasi semua kita untuk bebas dari malaria,” kata Khristofel Praing sebelum membukan kegiatan secara resmi.
Kemenkes RI Beri Apresiasi
Setelah seremonial pembukaan, workshop tersebut diawali dengan penyampaian materi dari dr. Hellen Dewi Prameswari, MARS selaku Ketua Tim Kerja Malaria Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pada kesempatan itu, ia mempresentasikan bahan pembelajaran dengan topik: Kebijakan dan Evaluasi Program Penanggulangan Malaria.
Berdasarkan data yang dipaparkan dr. Hellen, kasus malarai pada tahun 2022 menunjukkan bahwa, sebanyak 3,6% (15.812) kasus nasional berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Timur atau sebesar 15.812 kasus positif. Dari jumlah tersebut, 83% atau 13.173 kasus disumbangkan dari 3 kabupaten dengan kategori endemis tinggi, yaitu Sumba Barat, Sumba Timur, dan Sumba Barat Daya.
Setelah melakukan berbagai intervensi, dr. Hellen mengakui saat ini sudah menunjukkan adanya perubahan yang lebih baik. Karena itu, Kemenkes RI secara khusus memberi apresiasi kepada NTT yang telah mengalami peningkatan kinerja.
“Saat ini NTT dinilai aktif melakukan penemuan kasus maupun upaya lain untuk penurunan malaria,” puji dr. Hellen.
Hellen berharap kinerja yang sudah baik itu perlu dipertahankan dan ditingkatkan lagi. Ia juga berharap para petugas melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk bekerja sama menuntaskan masalah malaria.
“Tolong bantu teruskan pesan ke masyarakat, kalau mendapat obat malaria, mohon diminum sampai habis sesuai anjuran petugas,” lanjut dr. Hellen.
Selain itu, ia juga mengingatkan pentingnya memastikan program kelambu massal berjalan efektif. Khusus ibu hamil, dr. Hellen berharap bisa melakukan pemeriksaan di puskemas, karena kelompok khusus ini juga perlu dicegah dengan pengobatan serta modifikasi perilaku untuk mengurangi nyamuk dan menggunakan kelambu.
Pada kesempatan itu, dr. Hellen juga mengingatkan kepada tenaga kesehatan untuk aktif melakukan penyelidikan epidemiologi (PE). Menurutnya PE ini sangat penting untuk menelusuri secara tuntas penyebab masalah. Karena itu, ia berharap agar setiap ada laporan kasus baru, harus diikui dengan penyelidikan epidemiologi hingga tuntas.
Secara umum, dr. Hellen membagikan 6 langkah yang perlu dilakukan untuk penanganan malaria di kabupaten/kota dengan status endemis tinggi. Keenam langkah tersebut antar lain: pencanangan kelambu massal malaria; pencegahan malaria dengan obat malaria pada ibu hamil; pemberian chemoprevention pada populasi berisiko (migran atau orang yang berpindah/berpergian di daerah endemis) dan pemberian cemoprofilaksis pada TNI/POLRI; pengobatan malaria secara massal di daerah endemis; melakukan advokasi, komunikasi, dan mobilisasi sosial yang berhubungan dengan intervensi untuk pencegahan malaria; dan perluasan deteksi dini dan pengobatan malaria melalui kader.
Penulis: Saverinus Suhardin (Infokom DPW PPNI NTT)