Oleh: Lusia Dalong
(Perawat PKM Oemasi dan Anggota Bidang Infokom DPD PPNI Kab. Kupang)
Berawal dari pandemi COVID-19 dan sejak ditemukan vaksinnya, tenaga kesehatan (Nakes) Puskesmas Oemasi terus melakukan vaksinasi sejak 20 Januari 2022 hingga saat ini. Selama vaksinasi COVID-19 berlangsung, kegiatan imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan pun tetap dilakukan. Termasuk pemberian vaksin baru Pneumococcal Conjugated Vaccine (PVC) pada bayi sejak November 2022.
Tapi, tidak mudah melakukan vaksinasi/imunisasi di masa pandemi. Kami sering mendapatkan penolakan di awal masa vaksinasi. Kami juga kadang tidak bisa mengindari bentrokan dengan masyarakat ketika harus mengatur antrean masyarakat atau ketika vaksin kurang. Belum lagi soal tantangan kondisi geografis yang memaksa kami melwati jalan yang terjal.
Pendek kata, ada begitu banyak tantangan yang kami lalui, namun tak ada kata menyerah sedikit pun. Satu filosofi Florence Nightingale, Ibu Keperawatan, yang menginspirasi kami bahwa: “Hidup akan bermakna jika kita melakukan sesuatu untuk orang lain.”
***
Sasaran penerima vaksin COVID-19 yang pertama adalah tenaga kesehatan. Awal pelaksanaannya, kami merasa cukup ribet karena sasaran yang akan divaksin harus memiliki nomor tiket yang didapat secara online melalui Aplikasi.
Mekanisme/alur pelayanannya harus melalui 4 meja. Meja 1 pendaftaran; meja 2 skrining; meja 3 vaksinasi; dan meja 4 observasi, pencatatan dan pelaporan. Akibatnya, nakes yang terlayani saat itu hanya 4 orangg dalam sehari. Oh my God, bagaimana jika alur pelayanan yang seribet ini dilakukan untuk semua masyarakat? Apakah semua masyarakat nanti akan divaksin? Itu beberapa pertanyaan yang terbersit waktu itu.
Ternyata apa yang dikhawatirkan tidak terbukti. Semua masyarakat bisa divaksin, mulai dari pelayan publik, lansia, masyarakat umum, ibu hamil, remaja dan bahkan anak-anak. Alur pelayanannya dipermudah, meski tetap melalui 4 meja. Bahkan saat ini bisa 2 meja dan tidak harus online—bisa dilakukan secara manual.
Kami menghadapi berbagai tantangan mulai dari proses pendataan, saat pelayanan dan setelah pelayanan (proses pencatatan dan pelaporan). Saat pendataan, banyak masyarakat yang menolak memberikan data dengan alasan tidak memiliki NIK, tidak mau divaksin, tidak perlu divaksin karena merasa diri baik-bik saja dan merasa diri kebal/tidak akan tertular COVID-19. Bahkan ada yang mengatakan COVID-19 hanya hoaks. Karena itu kami melakukan sosialisasi tentang pentingnya vaksinasi dengan ambulans keliling untuk membagikan leaflet dari lorong ke lorong, gang ke gang di 11 desa.
Kabar baiknya, pemerintah mengeluarkan aturan agar setiap orang yang bepergian ke kota harus menunjukkan kartu vaksin. Saat itu kami kembali sibuk, karena pos-pos pelayanan dipadati masyarakat. Sebagian dari mereka tidak mau antre sehingga terjadi saling dorong. Bahkan ada yang mengumpat ketika belum mendapat vaksin.
Kami pun merenung, apakah mereka mau divaksin karena kesadaran sendiri atau karena dipaksa aturan? Bagi kami kami, apapun alasannya, apapun kondisinya, yang penting masyarakat divaksi. Bahkan kami pernah melayani sampai jam 01.00 dini hari. Antara kerja gila atau gila kerja, beda-beda tipis.
Tahap kedua, setelah melakukan pelayanan vaksin (suntik-menyuntik), kami pun harus melakukan pengisian data. Penginputan data tidak semuanya dilakukan real time ketika kami melayani vaksinasi di wilayah yang tidak ada jaringan. Bayangkan, jika yang dilayani sehari lebih dari 500 orang, maka kami harus bergadang untuk menginput data. Jam tidur kami saat itu sekitar 03.00 dini hari, sementara jadwal pagi harinya telah menanti.
Proses menginput data pun tidak semudah yang dibayangkan. Ada yang NIK-nya tidak terdaftar di DukCapil, padahal menggunakan KTP elektrik. Lalu, disulap dari manakah KTP itu? Kami temukan NIK yang tercatat dalam format manual, harusnya ada 16 digit, tapi nyatanya bisa ada yang lebih dan kurang.
Ini salah siapa? Entahlah. Solusinya? Kami yang memasukan data harus bisa jadi ahli nujum walau sekadar menebak angka-angka NIK disesuaikan dengan kode wilayah dan tanggal lahir sasara, sehingga datanya bisa terinput dan banyak yang berhasil.
Kondisi geografis pun menjadi tantangan bagi kami. Kondisi jalan longsor menuju 6 desa wilayah belakang Puskesmas membuat kami kadang harus transit dari ambulans ke pickup. Kami didrop di batas jalan longsor dan harus berjalan kaki dengan membawa box logistik vaksin dan pickup dari desa belakang sudah menanti kami di seberang.
Kadang kami juga harus jalan panjang lewat Batakte , Kupang Barat, agar bisa sampai ke salah satu pos pelayanan. Sangat miris sebenarnya melihat kondisi jalan kabupaten yang letaknya tidak jauh dari pusat kota provinsi, tetapi kurang diperhatikan. Meski demikian, kami justru merasa tertantang dan berupaya melakukannya dengan senang hati.
Seiring berjalannya waktu, atas kerja sama yang baik antara semua tenaga kesehatan dan berbagai lintas sektor di wilayah kerja kami, vaksinasi COVID-19 dapat berjalan dengan lancar. Kami pun mendapat penghargaan sebagai juara I vaksinasi terbaik se-Kabupaten Kupang. Penghargaan itu kami dapatkan saat memperingati Hari Kesehatan Nasional yang ke 57 pada tanggal 12 November 2021 lalu.
Di saat vaksinasi COVID-19 masih terus berlangsung, kami juga harus melakukan pelayanan imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan bagi anak Sekolah Dasar (SD). Sebelum adanya vaksinasi COVID-19, kegiatan BIAS berjalan seperti biasa dan jarang ada orang tua yang menolak anaknya divaksin.
Namun sejak adanya vaksin COVID-19, banyak orang tua yang menolak anaknya divaksin. Hal itu berdampak pada penurunan cakupan imunisasi, baik imunisasi rutin maupun imunisasi lanjutan. Bahkan ada orang tua yang mengatakan, “Ibu/Bapak.. anak kami tidak boleh divaksin, kalau diimunisasi boleh.”
Kami harus sabar saat melakukan sosialisasi agar bisa diterima oleh orang tua. Kami berusaha menjelaskan bahwa, anak-anak akan mendapat imunisasi (bukan vaksinasi, walaupun sebenarnya tenaga kesehatan sendiri tahu, bahwa yang digunakan untuk vaksinasi atau imunisasi adalah sama-sama namanya vaksin).
Karena terjadi penurunan cakupan imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan, pemerintah mencanangkan program Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN). Semua anak usia 9 bulan – < 12 tahun mendapat imunisasi Campak, Rubella, dan imunisasi kejar (DPT-HB-Hib, OPV dan IPV) bagi sasaran Usia <5 tahun yang belum mendapat imunisasi rutin lengkap.
Sistem pelaporannya pun tak kalah rumit. Setiap anak yang diimunisasi datanya diinput dalam aplikasi yang bernama ASIK. Logistiknya pun dilaporkan di aplikasi bernama SMILE. Nama aplikasi tampaknya keren, tapi itu tidak menjamin semuanya berjalan mulus.
Lagi-lagi kami menemukan kendala NIK saat penginputan data, karena tidak semua sasaran memiliki NIK. Namun, kami sebagai perawat tetap melakukannya dengan “asyik” dan penuh “smile” sesuai nama aplikasinya, karena kami peduli pada anak-anak dan masa depan bangsa.
Ketika pelaporan data BIAN belum berakhir dan masih ter-“BIAN-BIAN” (istilah pengelola imunisasi; seharusnya terngiang-ngiang) di telinga kami, kami disodorkan lagi dengan vaksin baru yaitu Vaksin Pneumococcal Conjugate Vaccine (PCV) untuk mencegah pneumonia atau radang paru-paru pada bayi yang sudah mulai diberikan tahun ini.
Lalu ada vaksin baru lagi yaitu, Japanese Encephalitis (JE), Rotavirus dan Human Papiloma Virus (HPV) yang mungkin akan dilaksanakan tahun depan. Sungguh hidup kami perawat/nakes berselimutkan berbagai nama vaksin. Bisa-bisa nama anak-anak perawat/nakes terinspirasi dari nama vaksin, kira-kira apa ya yang paling pas? Biar bisa jadi cerita ketika anak itu besar.
Hidup terus berlanjut, proses terus bejalan, dan dalam berproses pasti ada tantangan. Vaksin apa pun yang diprogramkan pemerintah, jika itu demi kesehatan generasi penerus bangsa, kami perawat/nakes siap menjalankannya demi terwujudnya “Herd Immunity” (kekebalan kelompok).
Akhir kata, semoga tidak hanya kekebalan kelompok yang diprioritaskan tetapi “ketebalan isi dompet” perawat/nakes juga perlu diperhatikan. Karena sejatinya “ketebalan isi dompet” kami sangat berpengaruh terhadap “sistem imun” kami dalam berjuang meningkatkan kekebalan kelompok.