Oleh: Andi Taka

(Perawat RSJ Naimata, Kupang)

Seorang ibu berusia 50 tahun, kita sebut saja namanya Ibu Lucy (bukan nama sebenarnya), datang pertama kali ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Naimata Kupang pada 14 Juli 2018 lalu. Ketika saya melakukan pengkajian awal, Ibu Lucy mengaku sering mendengar suara-suara bisikan.

“Ada laki-laki yang sering panggil-panggil saya,” begitu pengakuan Ibu Lucy, meski apa yang didengarnya itu bukan sesuatu yang nyata.

Keluarganya pun bercerita kalau Ibu Lucy memang terlihat sering berbicara dan tertawa sendiri. Ibu Lucy juga sering keluyuran hingga tengah malam, sehingga anak bungsunya harus mencari di mana-mana untuk diajak pulang ke rumah.

Awalnya keluarga memaklumi tingkah Ibu Lucy tersebut dan berusaha menangani masalah itu secara mandiri di rumah. Tapi, lama-kelamaan, kesabaran keluarga menghadapi perilaku aneh Ibu Lucy makin menipis. Keluarha marah dan jengkel, sebab Ibu Lucy tidak sekadar merepotkan bagi keluarga inti, tapi juga mulai meresahkan warga di lingkungan sekitar.

“Orang dong su terganggu dengan mamatua, Pak,” jelas sang anak dengan logat Timor yang khas.

Apa yang dialami Ibu Lucy itu, dalam ilmu kesehatan atau keperawatan jiwa disebut halusinasi. Halusinasi merupakan salah satu gangguan jiwa yang membuat penderitanya mengalami perubahan persepsi sensori.

Artinya, pasien yang mangalami halusinasi akan merasakan sensasi palsu, bisa berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaaan, dan penciuman. Kalau dalam kasus Ibu Lucy, ia mendengar suara-suara yang tidak didengar oleh orang lain di sekitarnya.

Setelah pemeriksaan awal tersebut, Ibu Lucy selanjutnya menjalani perawatan di RSJ Naimata, Kupang. Selama masa perawatan itu, khususnya masa-masa awal masuk rumah sakit, semua petugas mulai dari dokter, perawat, satpam serta enggota keluarganya sendiri harus memberi perhatian ekstra.

Bagaimana tidak, tingkah laku Ibu Lucy saat cukup meresahkan dan membuat kami semua prihatin. Ibu Lucy tidak bisa tenang atau gelisah, kada berusaha untuk kebur, tidak mau makan tidak mau minum obat, dan tidak mau berinteraksi dengan sesama pasien yang satu ruang perawatan di rumah sakit.

Meski demikian, petugas kesehatan tetap berusaha memberikan tindakan terbaik. Saya dan rekan-rekan perawat fokus memberikan asuhan keperawatan yang dikolaborasikan dengan tenaga kesehatan lain, mulai dari dokter, tenaga farmasi, dan ahli gizi.

Kami sebagai tenaga kesehatan sama-sama memberi perhatian dan penanganan khusus, agar Ibu Lucy bisa diarahkan untuk mau makan, patuh minum obat, bisa bergaul dengan teman-teman satu ruangan.

Khusus untuk kemampuan yang terakhir itu, kami latih Ibu Lucy bersosialisasi dengan orang lain melalui kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK). TAK merupakan bagian dari intervensi keperawatan yang bertujuan mengubah perilaku seseorang secara bertahap.

Pelan tapi pasti, kami melihat ada perubahan yang lebih baik pada Ibu Lucy. Kemudian pada 16 Juli 2018, Ibu Lucy dinyatakan bisa melakukan perawatan mandiri di rumah oleh keluarga.

Sebelum benar-benar meninggalkan rumah sakit, kami sebagai perawat memberikan pendidikan kesehatan kepada Ibu Lucy, terutama keluarga yang selalu mendampinginya sampai di rumah.

Kami ingatkan keluarga agar Ibu Lucy minum obat secara teratur; wajib datang kontrol ketika obat hampir habis; tidak membiarkan Ibu Lucy sendirian di rumah dan bila perlu atur aktivitas rutin yang bisa dilakukannya secara mandiri; dan perlakukan Ibu Lucy secara manusiawai.

Berapa minggu kemudian, tepatnya 24 Agustus 2012, saya bertemu kembali dengan Ibu Lucy bersama keluarganya yang saat itu sedang kontrol kesehatan di RSJ Naimata. Setelah selesai dilayani di poli jiwa, Ibu Lucy tidak langsung pulang, tapi masih menjenguk salah satu keluarganya yang sedang dirawat di ruang isolasi.

Hari itu kebetulan saya dinas pagi. Saya sedang berjalan di dekat ruang isolasi dan baru sadar ternyata Ibu Lucy berdiri di depan pintu masuk. Saya pikir dia sudah tidak ingat dengan kami. Tapi ternyata Ibu Lucy malah berlari dan langsung memeluk dan mencium saya.

“Terima kasih, terima kasih,” katanya bersemangat.

“Waoooo, Ibu Lucy ceria sekali hari ini,” saya memberi pujian, lalu kami tertawa bersama.

“Saya tidak mendengar suara-suara itu lagi,” lapor Ibu Lucy. “Saya sudah sehat, dan saya biasa menjaga cucu di rumah.”

Saya merasa bahagia dan bangga mendengar kabar baik dari Ibu Lucy itu. Apa yang dialami Ibu Lucy saat itu, tentunya menjadi kepuasan tersendiri bagi saya sebagai perawat dan tentunya menjadi kebanggaan kami semua, keluarga besar RSJ Naimata, Kupang. Kami merasa berhasil dalam menangani masalah kejiwaan Ibu Lucy.

***

Cerita Ibu Lucy di atas merupakan satu dari sekian pengalaman yang kami rasakan dalam memberi pelayanan kesehatan di RSJ Naimata. Ada banyak pelajaran dari kenangan akan peristiwa tersebut.

Pertama, bahwa Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) memiliki peluang untuk sembuh jika diberi perawatan yang tepat. Karena itu, kita bersyukur, Pemerintah Provinsi NTT telah menyediakan fasilitas yang baik seperti RSJ Naimata, Kupang untuk melayani semua masyarakat Flobomorata.

Kita tahu, masalah kesehatan di NTT sangat kompleks. Khusus untuk ranah kesehatan jiwa pun memiliki persoalan yang beragam. Saat ini di RSJ Naimata, Kupang ada poli umum dan poli jiwa.

Berdasarkan data yang berhasil direkap, jumlah kunjungan pasien umum maupun pasien dengan gangguan jiwa tahun 2021 berjumlah 8.893 orang. Kunjungan dan pasien yang mendapat perawatan rawat inap berjumlah 507 orang, ada yang menggunakan kartu BPJS dan ada pula pasien umum.

Gambaran fakta itu menunjukkan kehadiran RSJ Naimata, Kupang sangat penting bagi masyarakat di NTT. Meski demikian, urusan penyelesaian masalah kesehatan jiwa ini tidak akan pernah cukup kalau hanya ditangani di fasilitas kesehatan. Perawatan pasien dengan gangguan jiwa memerlukan dukungan dari banyak pihak seperti keluarga, masyarakat, hingga pemerintah.

Selama memberi penangan, kita juga perlu ingat, ODGJ memiliki hak bebas dan kebebasan dari berbagai macam penyiksaan. Diskriminasi, pemasungan, kekerasan tidak dibolehkan sebagaimana diatur dalam pasal 28 G ( ayat 2) 28 I UUD 1945 dan Pasal 42 UU HAM (Hak Asasi Manusia). Bagaimanapun, ODGJ adalah manusia yang dilindungi dan berhak mendapat kehidupan yang layak sesuai harkat martabat kemanusiaannya.

Oleh karenanya kita harus memperlakukan mereka secara manusiawi. Mulai dari kegiatan promosi kesehatan, pencegahan, pengobatan hingga rehabilitasi, pada intinya penanganan medisnya dilakukan secara tuntas hingga kembali bersosialisasi seperti sediakala dengan keluarga dan lingkungan

Kedua, pengalaman merawat Ibu Lucy itu mengingatkan saya tentang kasih. Apa makna kasih bagi kita? Kita sulit untuk mendefinisikannya secara konsep, tetapi kita lebih mudah memaknainya ketika kita berpraktik.

Melalui tindakan, kita akan lebih mudah untuk memahami makna kasih dalam kehidupan sehari-hari. Kasih menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan seorang manusia. Melalui kasihlah manusia dapat mengenal serta memahami siapa sesama. Sederhananya, kasih menolong kita untuk kita berkenalan dengan lebih baik siapakah teman yang kita jumpai dalam keseharian. Maka dari itu, kasih tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang manusia.

“Kasihilah sesamamu, sama seperti kamu mengasihi dirimu sendiri,” itu pesan yang mungkin perlu kita renungkan terus. Semoga selalu ada kasih dalam setiap tugas pelayanan kita.

Penulis: Andi Taka

Editor: Saverinus Suhardin

Artikulli paraprakDari Menulis Asuhan Keperawatan Ke Menulis Berita Hasil Liputan
Artikulli tjetërDPW PPNI NTT Siap Selenggarakan TOT Terintegrasi