Oleh: Firdaus Nawa Hoke

(Perawat yang bertugas di Pustu Mapipa, Kab. Sabu Raijua, NTT)

Saya mau berbagi pengalaman selama bertugas di salah satu desa yang ada di Kabupaten Sabu Raijua, namanya Desa Raemude. Tempat saya tinggal di Pustu Mapipa. Itu tempat yang menakutkan bagi orang Sabu Raijua.

Kesan horor itu bermula dari kejadian barang-barang petugas yang sering hilang selama bertugas di pustu tersebut, sampai ada kasus pembunuhan salah satu oknum polisi yang melibatkan beberapa orang di tempat itu. Kejadiannya begitu tragis, setelah polisi tersebut ditikam beberapa kali menggunakan pisau dan tidak bernyawa, dia didorong masuk ke tanah yang sedikit berlubang dan ditindis dengan batu.

Kejuadian itu menjadi awal mula banyak orang Sabu yang takut masuk wilayah Mapipa. Orang sering menyebut orang Mapipa dengan istilah “Maen Pisau Parang” atau “Malas Pikir Panjang” hehehe…

Setelah saya masuk dan bekerja di sana, cerita horor yang ada di benak saya hilang ketika saya mulai berinteraksi dengan masyarakat di sana. Ternyata begitu besar rasa kekeluargaan mereka.

Pustu itu sudah lebih dari 10 tahun tidak ditempati. Petugas hanya berkunjung untuk pengobatan pada pagi hari. Memang betul istilah lama, “Tak kenal maka tak sayang.” Tak sayang maka sonde cinta, karna cinta berawal dari rasa sayang, hehehe…

Banyak orang yang bertanya, apakah nyaman berada di tempat itu? Saya ceritakan kisah saya, saya nyaman, bahkan saya seperti di rumah sendiri. Orang-orang di sana sangat menyayangi saya. Begitulah anak pustu, ketika kunjungan rumah, saya mendapat berbagai hasil bumi lokal: jagung, ubi, kacang, sayur, kelapa, buah saboak yang biasa disebut buah lontar, dan ayam.

Saya sering dikasi ayam saat berkunjung, bahkan di tempat itu saya pernah memelihara ayam sampai lebih dari 20 ekor. Yah, memang menurut orang itu masih sedikit, tapi untuk saya, itu sudah banyak, karena pengalaman pertama. Bahkan saya pernah dikasi kambing oleh kepala dusun saat ada acara di rumah saya. Itulah sekilas gambaran yang membuat saya nyaman bertugas di desa tersebut. Mapipa is the best.

Bagaimana dengan pengalaman saat kegiatan imunisasi? Awal mula orang di sana masih banyak yang takut anak mereka diimunisasi. Mereka hanya mau kalau diimunisasi di lengan, yang kata mereka hanya timbul seperti bisul dan cepat sembuh. Kalau imunisasinya di kaki, anak bisa sampai demam dan ada yang bengkak, merah, sakit saat disentuh, dan anak rewel saat malam hari. Mereka takut anak mereka makin sakit dan mereka sulit untuk pergi sabung ayam atau dalam istilah orang sana: Kumpul keluarga, hehehe…

Pada mulanya kegiatan imunisasi di desa Mapipa sangat berat. Desa kami berada di urutan ke 2 dari bawah kalau ada pertemuan bulanan yang membahas cakupan imunisasi. Maka dari itu, setiap bulan saat imunisasi di posyandu, saya dan teman bidan menyempatkan diri untuk bercerita tentang imunisasi serta manfaatnya.

Kebetulan saya sudah memiliki anak saat itu dan masih dalam usia imunisasi. Kata teman saya, biar anak saya diimunisasi duluan di pustu, tidak usah dibawa ke posyandu. Saya bilang, biar saya bawa dan diimunisasi bersama anak-anak di sana.

Mulai dari imunisasi BCG sampai Campak, anak saya imunisasinya di tempat posyandu, yang dilakukan saya sendiri, untuk meyakinkan masyarakat, bahwa anak petugaspun tidak cacat hanya dengan imunisasi.

Saya bercerita tentang anak saya juga demam dan rewel saat malam hari setelah diimunisasi, tapi aman setelah dikasih paracetamol. Perlahan-lahan, ibu-ibu di sana mulai berani memberikan anak mereka untuk diimunisasi.

Tapi, ada beberapa yang setelah pulang rumah bertengkar dengan suami, karena masih ada rasa ketakutan akan imunisasi. Setelah saya mendengar hal itu, saya melakukan pendekatan dengan orang tua, kunjungan rumah, dan akrab dengan masyarakat di situ. Setelah akrab dan dekat dengan orang tua, mereka mulai percaya pada saya dan petugas kesehatan lain.

Pernah ada pengalaman pada saat imunisasi MR (Measles Rubela), pada saat itu, imunisai MR masih sangat baru. Isu beredar di daerah Jawa, ada yang lumpuh, bahkan ada yang sampai meninggal karena diimunisasi. Orang-orang didesa itu sampai ketakutan saat kami membawa vaksin dan bilang akan diimunisasi MR bagi anak mereka.

Saya walaupun sebagai petugas kesehatan, sempat takut mau layani imunisasi MR pada anak-anak di desa Mapipa. Saat tiba tanggal posyandu, saya memberanikan diri untuk sekalian membawa anak saya diimunisasi bersama anak-anak di tempat posyandu. Dalam hati saya berdoa, “Tuhan tolong jangan biarkan kami dipermalukan.

Setelah itu, saya yang telah malakukan imunisasi dasar lengkap bagi anak usia 0-9 bulan, saya mengeluarkan vaksin MR dan meminta orang tua untuk memperhatikan saya yang akan menyuntik anak saya terlebih dahulu. Memang pada saat itu hanya ada 2 anak yang kami layani MR, orang tua yang lain pulang dan meninggalkan kami, karena takut anaknya diimunisasi MR bisa lumpuh, bahkan mati.

Setelah kami melayani imunisasi, kami memberikan paracetamol sebagai antinyeri dan antipiretik. Setelah malam hari, memang anak saya demam tinggi, tapi setelah pemberian paracetamol yang kedua, anak saya bisa tidur dengan nyaman.

Bulan berikutnya, saat di tempat posyandu, dengan percaya diri, saya berdiri dan membuat kesaksian anak saya yang diimunisasi tidak ada masalah, hanya demam, dan turun setelah minum obat.  Saya juga bertayna pada orang tua yang anaknya ikut diimunisasi saat itu. Mereka menjawab hal yang sama, anak mereka pun baik-baik saja.

Setelah itu baru warga di posyandu mulai percaya dengan imunisasi MR yang baru. Hal hampir sama juga terjadi pada saat imunisasi MR yang dilakukan saat BIAS di salah satu SD. Kebetulan saat itu kami ada beberapa orang dalam tim, termasuk juga dokter interenship. Kami ditolak di sekolah, dan menurut salah satu staf, orang tua siswa semuanya sepakat agar anak mereka tidak diimunisasi.

Saya di situ merasa keberatan dan meminta salah seorang ibu yang bekerja sebagai staf di sekolah itu, untuk mempertemukan kami dengan kepala sekolah. Karena kami diutus dari puskesmas untuk melayani imunisasi, kami tidak boleh pulang dengan tangan kosong.

Setelah itu, kami dipertemukan dengan kepala sekolah dan beberapa orang guru. Ada salah satu staf di sekolah tersebut, bicara dengan nada yang sangat meyakinkan, katanya di salah satu sekolah di kecamatan sebelah, gara-gara imunisasi menyebabkan 1 anak sekolah cacat.

Saya dengan nada sedikit tinggi mengatakan, kalau ibu bilang seperti itu, ibu berani tidak, buat surat pernyataan kalau memang benar ada yang cacat. Dan kalau nanti kami telusuri tidak ada yang cacat, kami akan menuntut ibu karena telah menyebarkan isu yang meresahkan. Kami akan berkoordinasi dengan dinas kesehatan.

Sontak ibu itu terdiam, pucat dan sedikit gugup, kemudian berkata, “Eh itu orang yang bilang. Saya menyambung, “Makannya ibu, kalau belum pasti kebenarannya, jangan ibu mengatakan seolah-olah ibu melihat kejadian.

Lalu kami dimediasi oleh kepala desa, dan meminta agar dilakukan pertemuan dengan orang tua murid sehingga kami dari petugas kesehatan yang menjelaskan langsung kepada orang tua. Agenda pun mundur seminggu kemudian, kami meminta kepala puskesmas agar berkoordinasi dengan dinas kesehatan.

Kami datang ke sekolah tersebut, dan memang orang tua siswa sudah menunggu kami. Saat itu terjadi perdebatan hebat antara orang tua dan kami dari petugas kesehatan. Kami mulai menjelaskan tentang keamanan vaksin, dan saya membagikan pengalaman saya imunisasi anak saya sendiri di posyandu.

Saya mengatakan, “Tidak mungkin saya datang bawa bom bunuh diri datang di sekolah, banyak yang kenal saya di sini, saya tinggal di desa ini, kan kalau ada yang cacat bahkan sampai meninggal, pasti saya habis, karna saya tinggal di desa ini dan meracuni warga.

Setelah beradu argumen dengan orang tua, akhirnya masalah pun selesai. Kami saling berjabat tangan dan kami lanjut ke kelas-kelas untuk melayani imunisasi, didampingi guru-guru.

Sekian pengalaman yang bisa saya bagikan, intinya disini, kita harus mencintai profesi kita, mencintai masyarakat yang kita layani. Di manapun kita ditempatkan, jika berada di desa,  bayangkan masyarakat adalah keluarga kita. Jelaskan mereka dengan kepala dingin.

Jika berada di puskesmas atau rumah sakit, bayangkan kita berada di posisi pasien. Pasti kita juga butuh orang lain meyakinkan kita, walaupun hanya dengan kata-kata, peliharalah komunikasi terapeutik, di mana saja Anda berada, berkat akan mengalir dalam hidup Anda.

(Cerita ini merupakan salah satu tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis dalam rangka IND dan BIAN yang diselenggarakan DPW PPNI Provinsi NTT. Jika Anda suka dengan cerita ini, silakan bagikan di media sosial Anda, karena salah satu penilaian diambil dari seberapa banyak tulisan ini dibaca orang. Selain itu, jika Anda tertarik ikut lomba menuli ini juga, klik informasinya di sini: https://www.ppnintt.org/lomba-menulis-dalam-rangka-internastional-nurses-day-dan-bulan-imunisasi-anak-nasional-2022-tingkat-dpw-ppni-provinsi-ntt/)

Artikulli paraprakImunisasi: Insvestasi Kesehatan untuk Generasi Penerus Bangsa dan Perawat Punya Peran Besar
Artikulli tjetërRayakan IND, PPNI NTT Menyuarakan Seputar Profesi Perawat di RRI Kupang