Oleh: Sirilus Selaka
(Perawat RSUD Johannes Kupang)
Kata garda mendadak populer kala membentuk kalimat; tenaga kesehatan adalah garda terdepan melawan COVID-19. Peran tenaga kesehatan termasuk perawat semakin sentral dan heroik seiring viralnya lagu Demi Raga yang Lain dari pasutri Eka Gustawana & Yessiel Trivena dengan tenaga kesehatan ber-APD level 3 sebagai bintang video klipnya. Posisi tenaga kesehatan kian vital dan fatal setelah beredar kabar sejumlah dokter dan perawat wafat sebagai martir.
Sebagai garda terdepan, perawat dan tenaga kesehatan lain menjadi pasukan elit bersenjata lengkap, difasilitasi transportasi, konsumsi dan akomodasi memadai. Simpati dan empati mengalir dari berbagai penjuru negeri. Dari kiriman buah, sari buah sampai kuah bertuah. Sumbangan hasmat, selimut sampai obat kuat. Menjadi kelompok prioritas vaksin pertama sampai boster serta insentif fantastis adalah elitisme selanjutnya bagi para garda terdepan.
PPNI sebagai organisasi profesi yang profesional tidak ketinggalan memberikan support lewat kiriman paket bagi perawat yang terkonfirmasi positif COVID-19 dan terlibat secara proporsional dalam pemakaman sejawat perawat yang wafat.
Semua privilege di atas adalah garansi bagi para garda terdepan agar tidak digarasikan sebelum waktunya. Menengok ke belakang sebelum pandemi COVID-19 melanda, tidak sedikit perawat yang wafat di usia produktif karena kecelakaan kerja (tertular penyakit). Mati akibat tertular penyakit adalah risiko pekerjaan perawat tetapi adalah mati konyol jika tertular penyakit yang mestinya dapat dicegah dengan imunisasi seperti Hepatitis-B atau TBC.
Kini, pandemi menepi tapi posisi perawat tetap di garda terdepan bahkan semakin di depan. Betapa tidak, berbagai program di bidang kesehatan yang terbengkalai selama pandemi, kini kembali bergeliat. Genderang akreditasi rumah sakit, puskesmas dan kampus telah ditabuh. Program pelayanan masyarakat termasuk Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) mulai bergulir.
Perawat sebagai tenaga kesehatan dengan jumlah terbanyak tentu saja memiliki peran penting, fungsi vital, porsi besar dan posisi strategis dalam program-program tersebut. Peran penting perawat dalam program imunisasi massal seperti Pekan Imunisasi Nasional (PIN), Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) dan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) tidak saja sebagai pemberi pelayanan langsung (eksekutor) tetapi peran edukator, kolaborator sampai koordinator dilakoni hampir dalam ruang dan waktu bersamaan.
Fungsi vital perawat secara independen, dependen dan interdependen pun tersaji di sana. Porsi besar mengacu jumlah massal anak yang divaksin serta durasi dari tahap persiapan, pelaksanaan, pelaporan dan monitoring-evaluasi. Posisi strategis mengingat perawat ibarat jembatan yang mendekatkan puskesmas dengan sekolah dan memiliki kemampuan persuasif membujuk anak; “tidak sakit kok”. Coba perawatnya yang disuntik, wekkk, dibujuk, dipeluk sampai dicekik juga tetap menolak.
Mengingat pentingnya peran perawat, memerhatikan vitalnya fungsi perawat, menimbang berat dan besarnya porsi perawat, memandang strategisnya posisi perawat dalam kegiatan BIAN lalu membandingkan kejadian tewasnya ratusan orang anggota KPPS pada pemilu serentak lalu, maka saya mengusulkan:
Pertama, perawat perlu bekerja secara profesional, rasional dan proporsional. Profesional dalam definisi yang ekstrim adalah bekerja untuk dibayar. Walau uang bukan segalanya tetapi segalanya tiada tanpa uang. Bekerja rasional dengan memasang rasio antara tindakan dengan risiko. Misalnya, ditugaskan ke daerah konflik maka mintalah pengawalan atau jika diminta bekerja melampaui kapasitas, porsi dan durasi maka mintalah kompensasi atau garansi. Proporsional mengacu pada bekerja sesuai tupoksi, job description dan standar yang berlaku. Ingat, under/over qualified berisiko diskualifikasi!
Kedua, para stakeholder dimohon untuk mengurangi pressure yang membuat perwat merasa bekerja di bawah tekanan. Berikanlah reward and punishment yang objektif demi kinerja yang efektif dan efisien.
Ketiga, PPNI sebagai organisasi profesi diharapkan untuk mengadvokasi anggota yang bekerja tanpa gaji alias sukarela yang sukacita bekerja sama tapi dukacita kala sesamanya gajian. PPNI mesti menengahi pro-kontra keberadaan perawat sebagai tenaga sukarela/magang bertahun-tahun di berbagai faskes. Argumentasi bahwa magang demi maintenance ilmu dan skill dapat dipatahkan dengan dalil eksploitasi profesi. Mengizinkan anggota PPNI bekerja sebagai tenaga sukarela pada instansi/perusahaan yang menerapkan prinsip low cost high profit, bukan saja melemahkan bargaining position tetapi menjatuhkan reputasi profesi.
Jumlah perawat secara lokal, nasional dan global yang banyak adalah aset besar jika dikelola dengan baik. Undang-undang 38 Tahun 2014 (UU Keperawatan), pasal 36 c mengamanatkan; Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berhak menerima imbalan jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan. Sebagai tenaga kerja, perawat berhak menerima gaji sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP). Ini senada dengan salah satu tujuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu; memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
PPNI ibarat rumah gembala juga kandang bagi kawanan kambing, domba dan sapi. Para gembala mesti siaga menjaga anggotanya dari serangan predator lapar atau kompetitor yang gemar mengincar pelamar untuk dijadikan kambing kurban, domba persembahan atau sapi perah. Istilah perawat sukarela lazim terdengar pada situasi bencana atau faskes nirlaba. Di sanalah para relawan rela menjadi garda terdepan dengan garansi surga, bukan garasi.
Kontribusi perawat dalam program BIAN bukan sekedar mencetak kartu garansi seumur hidup bagi anak-anak bahwa mereka tidak akan terjangkit penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Kehadiran perawat di sana juga untuk memberikan kartu garansi bagi generasi penerus bangsa ini yang kelak menjadi garda terdepan. Garda terdepan menghadapi perang globalisasi, teknologi, four point zero atau apapun nama perangnya kelak. Jika imunisasi hari ini dianggap investasi maka perawat adalah investor atau salah satu pemilik saham. Hmmm, pemilik saham kok dompetnya lempem?
***
(Tulisan ini merupakan salah satu tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis dalam rangka IND dan BIAN yang diselenggarakan DPW PPNI Provinsi NTT. Jika Anda suka dengan tulisan ini, silakan bagikan di media sosial Anda, karena salah satu penilaian diambil dari seberapa banyak tulisan ini dibaca orang. Selain itu, jika Anda tertarik ikut lomba menuli ini juga, klik informasinya di sini)