Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage
(Dosen Program Studi Ners Universitas Citra Bangsa & Ketua Divisi Pemberdayaan Politik DPW PPNI Provinsi NTT Periode 2022-2027)
Secara global, 59% profesional kesehatan adalah perawat. Dari jumlah tersebut, ada pemimpin di setiap tingkatan—dalam praktik, pendidikan, dan penelitian.
WHO, dalam laporan State of the World’s Nursing 2020 menyerukan secara global agar setiap Negara mengambil tindakan untuk berinvestasi dalam pendidikan dan pekerjaan perawat,—dan terutama untuk memperkuat kepemimpinan perawat, memastikan peran mereka dalam memengaruhi pengembangan kebijakan kesehatan serta pengambilan keputusan agar mampu berkontribusi terhadap secara efektif dalam perawatan kesehatan dan sosial.
Perawat, merupakan salah satu kelompok yang berada pada garda terdepan pelayanan kesehatan dan sosial terhimpit dalam situasi sulit untuk menangani beban COVID-19.
Perawat dan manajer keperawatan dalam krisis ini berada di bawah tekanan mental dan fisik yang paling parah 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Meluasnya prevalensi COVID-19 dan menumpuknya pasien untuk pengobatan dan perawatan, membuat pengelolaan pandemi menjadi semakin kompleks dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam dunia keperawatan.
Di banyak bagian dunia, masalah seperti itu telah diatasi dengan memperkuat manajemen keperawatan dan sistem kepemimpinan.
Pemimpin dan manajer keperawatan dalam kasus ini mengambil langkah-langkah untuk memecahkan masalah dengan mengungkapkan keberanian dan wawasan transenden.
Peran lain dari manajer keperawatan pada saat krisis adalah sebagai konselor, motivator, pendukung dan kolaborator—yang juga menggunakan karakteristik ini untuk membimbing staf keperawatan lainnya.
Pengetahuan dan keterampilan kepemimpinan sangat penting bagi perawat. Dan, meskipun definisinya berbeda-beda, ada komponen utama dalam konsep kepemimpinan, yaitu; melibatkan proses dan pengaruh bagi kelompok yang berfokus pada pemenuhan tujuan bersama.
Pandemi COVID-19 telah mendorong penilaian kritis terhadap bukti seputar kepemimpinan selama masa krisis, sebagai insiden tak terduga yang menimbulkan risiko signifikan bagi organisasi pelayanan kesehatan serentak pelayanan keperawatan secara khusus.
Krisis skala besar di akhir 1970-an menjadikan kepemimpinan krisis sebagai bidang yang berkembang pesat dan memunculkan banyak studi yang tersedia tentang topik ini. Namun, sedikit penelitian telah dilakukan di bidang keperawatan selain studi yang dilakukan dalam satu area kritis menggunakan sampel kecil dan tidak representatif.
West et al (2015) menyoroti bahwa penelitian kepemimpinan kesehatan cenderung lemah, jumlah sampel kecil, desain cross-sectional, ketergantungan pada pelaporan diri, kurangnya kelompok kontrol, penggunaan alat yang tidak dapat diandalkan dan cenderung tidak valid. Mereka menyarankan kita mungkin perlu mengubah definisi kita tentang riset berkualitas mengenai kepemimpinan dan manajemen.
Selama krisis COVID-19, kita kembali dibawa masuk untuk melihat tentang pentingnya kepemimpinan perawat dalam konteks krisis. Para cendekia keperawatan telah menawarkan beragam perspektif yang begitu luas berbasis bukti untuk menguatkan tentang konsep kepemimpinan keperawatan pada masa krisis.
Ini adalah saat-saat yang luar biasa, terutama karena tampaknya kita telah mengalami gelombang COVID-19 tiada berujung, kita perlu bersiap dan berinvestasi dalam kepemimpinan keperawatan dan memastikan bahwa itu terlihat efektif untuk diterapkan.
Kerangka kepemimpinan yang dikembangkan selama 20 tahun terakhir telah sangat condong ke arah metodologi transformasional, distributif, kolaboratif, dan berpusat pada orang dan sekarang secara luas diadvokasi dan digunakan dalam organisasi secara global.
Namun, dalam konteks COVID-19, kita melihat kegagalan memanfaatkan kecerdasan kolektif, pengetahuan, kebijaksanaan, dan modal intelektual komunitas keperawatan yang lebih luas. Sebagai perawat, barang tentu, kita telah merefleksikan penggunaan strategi manajemen krisis dan kontrol, tetapi, itu tidak cukup. Sekarang saatnya untuk merefleksikan dan belajar dari kondisi ini dan dari orang lain di seluruh komunitas global.
Ditegah tuntutan mengenai perluasan kepemimpinan pada masa krisis dan belajar dari masalah yang terjadi, ada diskursus menarik yang dapat menjadi titik tolak untuk memahami definisi utama mengenai kepemimpinan dalam masa krisis sebagai pelajaran penting bagi perawat.
Laporan yang ditulis oleh Anders et al (2021) menggaris bawahi atribut unik yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan pemimpin keperawatan.
Pertama, kita harus mempertimbangkan kepemimpinan dalam kerangka sosial-ekologis. Model sosio-ekologi meningkatkan pemahaman tentang keterkaitan dinamis antara faktor mikro, meso, dan makro. Kepemimpinan tidak dapat dilihat dalam ruang hampa—ia harus dipertimbangkan dalam konteks sosial, politik, budaya, dan ekonomi di mana ia beroperasi. COVID-19 telah menggarisbawahi bahwa kita tidak dapat mempertimbangkan perawatan kesehatan tanpa terlibat dengan konteks masyarakat yang lebih luas.
Ancaman krisis katastrofi multidimensi karena perubahan situasi dunia kedepannya akan semakin nyata. Krisis yang ada selalu berporos pada sistem yang saling terikat sehingga tuntutan pelajaran kepemimpinan perawat saat ini—di situasi krisis—adalah pemimpin yang terikat secara holistik dengan semua hal di luar dari dirinya (keperawatan) agar mampu memberikan respon yang tepat saat terjadi gelombang krisis.
Kedua, karena kompleksitas perawatan kesehatan telah meningkat, kebutuhan akan pemimpin keperawatan yang efektif harus dipersiapkan dengan baik lebih mendesak. Praktik mempromosikan “perawat klinis hebat” ke dalam manajemen tidak lagi menjadi model yang layak untuk saat ini.
Keberhasilan organisasi perawatan kesehatan dalam memenuhi tujuan fiskal, kepuasan pasien, dan kualitas perawatan terutama bergantung pada kompetensi kepemimpinan perawat. Untuk mempromosikan kompetensi pemimpin keperawatan dan untuk membangun infrastruktur yang mendorong penciptaan keahlian, pemimpin perawat perlu merangkul pendekatan berbasis bukti, serta berbagai keterampilan dan kualitas lainnya.
Kepemimpinan berbasis bukti akan menguatkan agenda kerja, terutama dalam memprediksi kemungkinan krisis yang akan terjadi. Pola ini harus dibangun dan dibentuk secara serius dan berkelanjutan di dalam semua tingkatan pendidikan maupun pelayanan klinis.
Dalam konteks Nusa Tenggara Timur, dengan jumlah perawat mencapai 15 ribu orang, kepemimpinan perawat pada masa krisis adalah sebuah kemestian. Ancaman terhadap masalah kesehatan yang bertumpuk adalah krisis serius yang tengah kita alami saat ini sehingga menuntut respon kita secara tepat.
Pemimpin perawat yang responsif harus mampu mengembangkan dan mematangkan keterampilan yang diperlukan untuk mengidentifikasi dengan cepat dan secara efektif menanggapi ancaman. Ancaman ini mungkin termasuk krisis kesehatan, proses politik, dan peristiwa bencana atau darurat lainnya.
Profesi keperawatan muncul dari pengakuan bahwa umat manusia bisa berbuat lebih baik dan bisa lebih baik lagi. Dalam semangat itu, kepemimpinan keperawatan dilengkapi dengan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan untuk menyampaikan ketika data dan ilmu tidak didefinisikan dengan baik. Pemimpin perawat telah memberikan keunggulan dalam kesehatan dan kepedulian terhadap kemanusiaan berkali-kali di masa lalu, dan profesi ini akan melanjutkan warisan yang membanggakan ini kepada kita semua pada hari-hari yang suram ini.
Pandemi COVID-19 yang memberi pukulan bagi perawat, adalah pengalaman penting yang dapat kita pelajari untuk memperluas bentuk kepemimpinan dalam masa krisis.
Tema umum kegiatan HUT PPNI ke-48, “Perawat Bersama Rakyat, Menuju Bangsa Sehat, Bebas dari COVID-19” dapat menjadi katalisator penting untuk mendefinisikan ulang serentak memperluas konsep kepemimpinan perawat di NTT, terutama dalam memberikan asuhan kepada masyarakat NTT, sebagai Bangsa yang sehat yang bukan saja dari COVID-19 tetapi dari seluruh masalah yang ada dan tengah kita alami saat ini.