Oleh: José Nelson Maria Vidigal, S.Kep.,Ns

(Perawat, bekerja di Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng)

Sejak upaya perbaikan gizi masyarakat Indonesia diprakarsai pada 25 Januari 1951, hingga kini pemenuhan gizi seimbang pun belum sepenuhnya terpenuhi. Malah terus bermunculan masalah yang berkaitan dengan gizi buruk.

Entah siapa yang salah? Tentu itu kesalahan individu dalam kelompok keluarga. Individu dalam kelompok tersebut ada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga masalah gizi buruk (stunting) menjadi masalah dan tanggungan bersama.

Pada peringatan Hari Gizi Nasional (HGN) yang ke-63 tahun ini, Kementrian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia merilis tema “Protein Hewani Cegah Stunting”. Bagi masyarakat NTT, stunting menjadi permasalahan klasik karena selalu dibahas dari tahun ke tahun, bahkan NTT menjadi penyumbang tetap bagi angka stunting nasional.

Salah satu penyebab masih adanya stunting di wilayah kita ialah ketidaksiapan calon keluarga dalam merencanakan dan membangun sebuah keluarga baru, khususnya kesiapan 1000 hari pertama pertumbuhan bagi buah hati mereka. Andai perencanaan itu ada, tentu pemenuhan gizi seimbang bagi anak dan keluarga akan terpenuhi.

Ketidaksiapan tersebut terjadi dalam berbagai bentuk seperti, kehamilan di luar nikah (kecelakaan/hamil dalam masa studi) atau hamil di bawah umur. Persiapan yang matang dalam membentuk sebuah keluarga baru seyogianya ditunjang pula dengan pengetahuan dasar tentang gizi seimbang, tanda, dan dampak dari malnutrisi. Tentu masih terdapat beberapa faktor lain, seperti kepenuhan pendidikan, ekonomi, dan kesiapan psikologis yang mendukung terbebasnya stunting di NTT dan dari aib nasional.

Menyelisik tema HGN yang ditawarkan mengenai Protein Hewani Cegah Stunting adalah benar adanya untuk digiatkan. Hal ini demikian, karena protein memiliki peranan yang sangat vital dan khas dalam proses pemeliharaan, pertumbuhan, pembentukan komponen struktural sel, pengangkut dan penyimpanan zat gizi, enzim, pembentukan imun, dan sebagai sumber energi.

Protein merupakan bagian dari semua sel hidup, sehingga menjadi bagian terbesar kedua dari tubuh setelah air dan nutrien lainnya. Struktur dasar dari protein adalah asam amino. Berdasarkan aspek gizinya, asam amino terdiri atas 20 jenis yang dibagi dalam tiga bagian, yakni asam amino esensial (ada 9), asam amino esensial bersyarat (ada 6) dan asam amino nonesensial (ada 5).

Asam amino esensial murni diperoleh dari makanan yang dikonsumsi berupa kandungan protein hewani dan nabati. Asam amino nonesensial bisa diproduksi secara langsung dari tubuh melalui proses aminase reduktase asam keton atau melalui transaminase dalam jumlah sedikit dan dalam situasi tertentu. Sedangkan asam amino esensial bersyarat dapat disintesis melalui  asam amino lain atau metabolit yang mengandung nitrogen kompleks lain. Artinya, asam amino ini diperlukan dalam makanan sehari-hari, kecuali bila prekursornya berada dalam jumlah banyak di dalam tubuh, sehingga memungkinkan untuk diproduksi kapan saja bila dibutuhkan oleh tubuh.

Sumber protein berasal dari pangan hewani dan nabati. Pangan hewani dapat diperoleh melalui daging ruminansia, seperti daging sapi, daging kerbau, daging babi, daging kambing, daging rusa, dan lainnya. Ada daging unggas (ayam, bebek, burung, dan lainnya). Selain itu, ada ikan, seafood, susu, telur dan olahan lainnya. Secara finansial, protein hewani masih sulit dijangkau oleh sebagian besar masyarakat yang berekonomi sederhana, tetapi tidak berarti mustahil untuk didapatkan bila pemerintah dan pihak lain sungguh berniat untuk pengentasan stunting.

Sedangkan pangan nabati berupa kacang-kacangan dan olahannya, seperti tahu, tempe, kedele, kacang hijau, kacang tanah, kacang merah, dan lainnya. Dari kedua pangan tersebut masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangannya.

Keunggulan dari pangan hewani adalah asam aminonya lengkap dan mudah diserap tubuh, itu sebabnya dijadikan pendasaran tema HGN tahun ini. Namun, kekurangannya ialah terdapat pula kandungan kolesterol dan lemak yang tinggi, kecuali ikan. Sejauh konsumsinya disesuaikan dengan kebutuhan usia dan masa pertumbuhan, itu tidak masalah.

Sedangkan keunggulan pangan hewani ialah proporsi lemak tidak jenuhnya lebih baik dari pangan hewani, karena mengandung komponen yang fungsinya seperti hormon estrogen, antioksidan, dan antikolesterol (isoflavon). Mengonsumsi kedua pangan tersebut secara bersamaan akan saling melengkapi kebutuhan nutrisi dalam tubuh.

Sebenarnya dari segi pangan, Indonesia sangat melimpah, baik pangan di darat maupun di laut. Namun, ironisnya data dunia Food Agriculture Organization of The United Nation mengemukakan bahwa, konsumsi protein hewani seperti, daging dan ikan di Indonesia masih rendah.

Lantas, ke manakah semua kekayaan yang kita banggakan itu? Apakah terlampau mahal untuk masyarakat kita sehingga dijual ke luar negeri? Jika permasalahannya demikian, maka pemerintah sebagai pemegang kebijakan berhak untuk mengatasinya.

Secara keseluruhan, konsumsi protein seperti, susu, daging, telur, dan ikan masih di bawah 40 gram per hari dari negara lain yang angka stuntingnya rendah. Secara rerata, kebutuhan protein untuk orang dewasa (>18 tahun) adalah sekitar 1-1,2 gram/kg Berat Badan (BB)/hari. Anak usia 10-18 tahun sekitar 1,2-1,7 gram/kg BB/hari, dan anak usia 0-9 tahun sekitar 1,8-2 gram/kg BB/hari (Kemenkes RI, 2014).

Bagi bayi, sumber nutrien utama adalah ASI ekslusif. Mutu protein yang kita konsumsi terletak pada jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein yang komplit dengan nilai biologis bermutu tinggi umumnya mengandung semua jenis asam amino esensial, dan itu hanya terdapat pada pangan hewani, kecuali gelatin, protein yang berasal dari kolagen. Biasanya ditemukan di kulit, tulang, dan tendon hewan. Itu sebabnya Kemenkes menyerukan “Isi piringku kini kaya protein hewani” pada peringatan HGN kali ini.

Peran Perawat

Perawat NTT yang bernaung di bawah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) hampir menyentuh angka dua laksa (18 ribuan). Bila dibuat perbandingan dengan jumlah penduduk NTT yang menyentuh angka 5 jutaan (5.326.000, tahun 2020), maka perbandingannya sekitar 1:296 (belum termasuk tenaga kesehatan lainnya).

Perbandingan tersebut tentu jauh dari kata ideal untuk mencapai target kesehatan. Namun, jika jumlah perawat tersebut tersebar merata di setiap pelosok (Pusat Pelayanan Terpadu) dan bersedia menggalakkan promosi kesehatan (pencegahan stunting), dan mengkaderkan masyarakat dalam  pemenuhan pengetahuan akan gizi seimbang, niscaya harapan untuk bebas stunting dan pencapaian derajat kesehatan dapat terwujud.

Keyakinan itu dilandasi keyakinan perawat memiliki kemampuan caring berdimensi holistik (bio-psiko-sosio-spiritual). Selain itu, tonggak dasar revolusi kesehatan dari suatu kaum terletak pada tingkat pengetahuannya. Pengetahuan yang baik mampu mengubah perilaku kaumnya untuk menggapai derajat kesehatan yang dicita-citakan bersama (bebas stunting).

Namun, saat ini stunting menjadi masalah yang kompleks karena melibatkan aneka aspek penyebabnya. Karena itu, tenaga kesehatan (perawat) saja belumlah cukup mengatasinya secara sendirian. Perawat juga butuh stakeholder lain dalam mengentas permasalahan ini secara kolektif. Peringatan HGN yang diperingati tiap tahun semestinya tidak menjadi perjuangan tenaga medis semata, melainkan momentum meningkatkan kepedulian dari berbagai pihak dalam memenuhi gizi seimbang menuju bangsa yang sehat.

Selamat Hari Gizi Nasional!

 

 

Artikulli paraprakKetua DPD PPNI Kota Kupang Lantik Pengurus DPK PPNI RSUP dr. Ben Mboi
Artikulli tjetërTingkatkan Kinerja Organisasi, DPD PPNI Flores Timur Gelar Rapat Kerja