“Jujur, pemerintah belum perhatikan kesehatan kami di sini,” demikian salah satu masalah yang dikeluhkan Pak Hamdan Saba. “Kami pernah minta pustu satu di sini, tapi sampai saat ini belum dilayani.”

Keluhan tokoh masyarakat Pulau Kera yang akrab disapa Pak Hamdan itu, disampaikan saat memberikan kata sambutan pada acara pembukaan kegitan pengabdian masyarakat (Pengmas) berupa penyuluhan dan pengobatan gratis yang berlangsung hari Sabtu (21/05/2022) kemarin.

Pengmas tersebut bisa terlaksana berkat kolaborasi lintas organisasi profesi dan lembaga pemberdayaan masyarakat, seperti Dewan Pengurus Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPW PPNI) Provinsi NTT; Yayasan Tanpa Batas; dan Pengurus Daerah Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PD PAFI) NTT.

Pada kesempatatan pengmas yang mengusung tema “Sukseskan Bulan Imunisasi Anak Nasional Bersama Warga Suku Bajo di Pulau Kera” itu, PPNI NTT diwakili oleh pengurus DPK PPNI RSJ Naimata dan Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa (IPKJI) Provinsi NTT—salah satu ikatan/himpunan yang bernaung di bawah DPW PPNI NTT.

Seperti yang diberitakan sebelumnya, kegiatan pengmas ini merupakan bagian dari rangkaian perayaan International Nurses Day (IND) dan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) yang diselenggarakan DPW PPNI Provinsi NTT. Kegiatan lain yang telah dihelat berupa Webinar Keperawatan dan talkshow di RRI Kupang. Dan kegiatan yang sedang berlangsung saat ini berupa lomba menulis  bagi perawat umum dan mahasiswa keperawatan se-NTT.

Tim PPNI NTT dan YTB berposes ketika hampir tiba di Pulau Kera, Sabtu (21/05/2022) kemarin

***

Berdasarkan pantauan tim Infokom DPW PPNI Provinsi NTT, kegiatan inti pengmas tersebut dimulai menjelang pukul 10.00 WITA. Kami, rombongan penyelenggara pengmas dari Kupang, berkumpul di tengah area pemukiman warga.

Di situ tumbuh satu pohon yang dikenal dengan nama: Kayu Kom. Daunnya cukup rindang, dan tim panitia yang datang sehari sebelumnya (Sabtu, 20/05/2022) telah menata sedemikian rupa sehingga layak menjadi tempat pelayanan kesehatan.

Ada empat (4) meja yang ditata di seputaran Pohon Kom itu. Meja pertama digunakan sebagai tempat pendaftaran dan pengkajian keluhan umum. Meja kedua menjadi tempat pemeriksaan sederhana, khususnya untuk mengecek TTV (tanda-tanda vital) berupa tekanan darah, nadi dan frekuensi pernapasan. Di meja ke-2 ini juga digunakan untuk mendeteksi adanya masalah kesehatan jiwa yang dilakukan oleh perawat dari IPKJI NTT.

Meja ketiga merupakan tempat anamesa dan pemeriksaan lebih lanjut yang dilakukan dua orang dokter, yaitu dr. George Sanu dari BKS (Brigade Kupang Sehat) dan dr. Christin Doko Rehi dari RS Siloam Kupang.

Di menja ke-3 itu, tim dokter menetapkan diagnosis dan menuliskan jenis obat yang perlu diminum. Selanjutnya resep dokter itu diteruskan ke meja ke-4, tempat para ahli farmasi dari PD PAFI NTT menata dan mempersiapkan obat-obatan untuk masyarakat.

Suasana pengobatan gratis yang dilakukan di bawah naungan Pohon Kom

***

Tepat pukul 09.50 WITA, Pak Hamdan sebagai pimpinan wilayah Pulau Kera berjalan ke arah masjid. Di sana ia menyapa para warga lewat pelantang atau pengeras suara (Toa), kemudian mengingatkan tentang adanya pelayanan kesehatan gratis yang dihelat di belakang satu-satunya gedung sekolah di sana. Setelah memberi pengumuman, Pak Hamdan kembali ke Pohon Kom—titik pusat kegiatan.

Ibu Imakulata Bete, S.Kep,Ns—koordinator utama rombongan pengmas—langsung mengusulkan agar kegiatan pengobatan segera dimulai. Semua sepakat, dan beberapa warga sudah mulai antre untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Acara diawali dengan kata sambutan atau arahan singkat dari koordinator rombongan yang biasa di Ns. Ima. Pada kesempatan itu, Ns. Ima menjelaskan latar belakang hingga terjadi kolaborasi dari berbagai organisasi untuk mendukung satu visi utama: Mendekatkan pelayanan kesehatan untuk warga suku Bajo di Pulau Kera.

“Semoga layanan kami ini bisa bermanfaat bagi warga di sini,” kata Ns. Ima yang juga menjabat sebagai Ketua DPK PPNI RSJ Naimanta tersebut. “Selain pengobatan gratis, kita juga ada skrining kesehatan jiwa. Lalu khusus untuk anak-anak sekolah nanti kita beri edukasi tentang bully dan pentingnya imunisasi.”

Pak Hamdan Saba, tokoh masyarakat atau pimpinan wilayah Pulau Kera

Pak Hamdan yang diberi kesempatan berbicara setelah Ns. Ima, menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada semua rombongan yang telah datang dan peduli dengan kesehatan masyarakatnya. “Harapannya, ini bukan kegiatan pertama dan terkhir. Harus ada kelanjutnya, sehingga anak-anak kami terlayani,” kata Pak Hamdan.

Pada kesempatan itulah, Pak Hamdan yang juga menjabat sebagai Ketua RW Pulau Kera itu menyampaikan kekecewaan terhadap rendahnya perhatian pemerintah akan pelayanan kesehatan.

Menurutnya, kepala puskesmas periode sebelumnya yang memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka terbilang cukup baik. Pak Hamdan mengatakan selalu ada kunjungan rutin dari petugas puskesmas induk yang berada di Kecamatan Sulamu, Kab. Kupang. Tapi setelah kepala puskesmasnya diganti, sampai saat ini mereka baru dikunjungi satu kali.

Pak Hamdan juga menceritakan pengalamannya melakukan advokasi bersama warga untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, agar sekiranya di Pulau Kera didirikan satu fasilitas kesehatan dasar berupa pustu. “Kita sudah minta satu pustu di sini, tapi belum dilayani,” katanya dengan mimik kecewa.

Antisipasi Bahaya Bully dan PD3I

Sementara pelayanan kesehatan gratis sedang berlangsung, di tempat yang berbeda—tepatnya di sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Negeri Kupang Filial Pulau Kera—ada pemberian edukasi tentang bahaya bully atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah perundungan dan pentingnya mengikuti imunisasi.

Pendidikan kesehatan tentang bahaya bully disampaikan oleh Ns. Ima. Perawat yang berpengalaman memberikan asuhan keperawatan pada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di RSJ Naimata itu menjelaskan dengan konsep yang sangat sederhana tentang bully dan bahayanya bagi kesehatan jiwa di hadapan anak-anak.

Ketika dikonfirmasi tim Infokom DWP PPNI NTT setelah memberikan penyuluhan, Ns. Ima menyapaikan bahwa isu bahaya bully bagi anak itu sangat penting. Sebagai perawat yang lumayan lama merawat penderita gangguan jiwa, Ns. Ima yakin sebagian besar faktor penyebabnya terjadi karena mendapatkan perundungan sejak kecil dan kurang mendapat perhatian dalam keluarga.

“Jangan main-maian dengan bully,” kata Ns. Ima dengan serius. “Kelihatan mungkin sepele, tapi banyak anak remaja sampai suicide (bunuh diri) gara-gara mendapat bully. Makanya kita harus beri pemahaman yang benar kepada anak-anak sejak dini.”

Pak Marwan Tonni Kase, S.Kep.,Ns, MM.M.Kes sedang memberikan penyuluhan tentang pentingnya imunisasi dalam rangka BIAN

Setelah itu dilanjutkan dengan edukasi tentang pentingnya imunisasi yang dibawakan oleh Pak Marwan Tonni Kase, S.Kep.,Ns, MM.M.Kes. Perawat yang biasa disapa Pak Marwan itu sehari-hari bekerja di YTB. Namun, selain itu Pak Marwan juga merupakan pengurus aktif DPW PPNI NTT dan menjabat sebagai Ketua Divis Organisasi dan Kaderisasi.

Selama menjadi pengurus PPNI, Pak Marwan sering terlibat dalam kerja sama dengan pihak Unicef dalam menjalankan program imunisasi di berbagai wilayah NTT. Berkat pengalaman khusus tersebut, Pak Marwan bisa memberikan penjelasan dengan kalimat atau cerita yang mudah dimengerti oleh anak-anak.

Pak Marwan mengandaikan pemberian imunisasi itu sebagai upaya mengaktifkan tentara sebagai petugas keamanan dalam tubuh. Lalu kuman atau penyakit diibaratkan sebagai musuh yang berbahaya.

“Kalau kita sudah imunisasi, tentara dalam tubuh kira makin kuat,” jelas Pak Marwan perlahan. “Jadi kalau nanti ada musuh atau penyakit yang masuk, kita punya tentara ini akan bunuh mereka, sehingga kita tetap sehat.”

Saat dikonfirmasi oleh tim Infokom DPW PPNI NTT, Pak Marwan menjelaskan persoalan imunisasi yang dialami oleh masyarakat Pulau Kera. Menurut Pak Marwan, setelah melakukan wawancara singkat dengan Pak Hamdan dan guru-guru di MI Negeri Kupang Filial Pulau Kera, diketahui sebagian besar anak (sekitar 90%) belum mendapatkan imunisasi lengkap.

Keadaan tersebut disebabkan karena rendahnya pengetahuan masyarakat setempat tentang pentingnya imunisasi. “Sebagian besar masyarakat menganggap imunisasi dalam membuat anak mereka akan lumpuh,” kata Pak Marwan. “Hal ini diperparah lagi minimnya fasilitas kesehatan dan perhatian pemerintah.”

YTB Melayani Tanpa Batas

Yayasan Tanpa Batas (YTB) ternyata sudah melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan dan advokasi di Pulau Kera sejak tahun 2011 silam. Ada banyak kegiatan atau program yang telah dijalankan, salah satunya adalah upaya mematenkan Suku Bajo yang ada di Pulau Kera sebagai salah satu lembaga masyarakat adat yang resmi.

“Kami sudah terdaftar di Kemenkumham,” kata Pak Hamdan sambil tersenyum. Saat itu tim Infokom DPW PPNI NTT berbincang santai dengannya dan ditemani Direktur YTB: Pak Deni Sailana.

“Saat ini kami fokus pada misi yang lain, yaitu kesehatan mata,” jelas lulusan teknik sipil yang biasa disapa Pak Deni tersebut. “Kami melakukan skrining terkait masalah penglihatan. Kalau ada yang bermasalah, maka kami akan faslitasi proses rujukan ke fasilitas kesehatan hingga mendapat penangan sampai tuntas.”

Pada kesempatan itu, Pak Deni juga mengakui kalau pekerjaan yang telah digelutinya selama lebih dari 20 tahun sebenarnya kurang sesuai dengan jurusan ketika kuliah. Dia mengaku pernah menjalani kerja sebagai akhi teknik sipil, tapi dalam perjalanan kurang betah. Lalu dia membanting stir ke bidang pemberdayaan dan pelayanan langsung kepada masyarakat.

“Di sini saya punya dunia sudah,” katanya sambil tertawa.

Masih menurut Pak Deni, selama ini Pak Deni sudah banyak melaksanakan program di masyarakat; di berbagai tempat. Di antaranya ada pelayanan HIV/AIDS, pendidikan inklusif, masyarakat adat, dan masih banyak lagi. Saat ini sedang fokus pada misi “I-SEE NTT” untuk mengatasi masalah kesehatan mata, lalu ke depan berencana mengembangkan pelayanan pada isu kesehatan jiwa dan mungkin banyak lagi. Pendek kata, cakupan layanan YTB memang tanpa batas.

Pak Deni Sailana, Ditrektur YTB, sedang berbincang dengan Pak Hamdan dan salah seorang warga

***

Di lain pihak, pada kesempatan obrolan santai itu, Pak Hamdan juga menceritakan sejarah singkat Suku Bajo yang tinggal di Pulau Kera. Menurutnya, Suku Bajo sudah mendiami wilayah itu sejak tahun 1911. Lalu ketika terjadi Perang Dunia II, Pulau Kera juga dibombardir para penjajah. Akibatnya, warga Suku Bajo melarikan diri dan terpencar ke berbagai wilayah.

Pak Hamdan sendiri tinggal di Pulau Kera sejak tahun 1997. Awalnya dia tinggal di Sulamu. Dia memutuskan berpindah bukan karena alasan mencari ikan sebagai nelayan, tapi ada alasan historis yang menurutnya harus diperjuangkan.

Menurut cerita dari para pendahulunya, pada tahun 1992, ada oknum yang melakukan pembongkaran kuburan nenek moyang mereka tanpa pemberitahun terlebih dahulu. Hingga kini, Pak Hamdan dan keluarga tidak mengetahui keberadaan tulang-belulang nenek moyang mereka yang dikuburkan di sana.

Setelah melihat adanya gelagat pihak-pihak yang ingin menguasai Pulau Kera secara sepihak, maka sebagai turunan Suku Bajo, Pak Hamdan dan beberapa warga yang lain memutuskan untuk menetap di sana.

“Awalnya kami ada 27 KK,” kisah Pak Hamdan. “Lalu kemudian ada suku kami yang transit dari Sulawesi, 46 KK. Saat ini dengan pekermbangan populasi, kami sudah ada lebih dari 100 KK.”

Pak Hamdan juga mengakui adanya masalah tentang klaim status tanah di Pulau Kera oleh berbagai pihak. Tapi, dirinya bersama warga setempat tidak gentar. Mereka kukuh untuk menetap di sana.

Pak Hamdan mengenang, dulu sempat ada upaya relokasi dari pemerintah. Tapi ketika tawaran solusinya tidak sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat yang mayoritas berprofesi sebagi nelayan, mereka kemudian menolak tawaran tersebut.

Mereka terus bertahan di sana, dan pada tahun 2000 mereka berhasil membangun Masjid. Itulah adalah satu-satunya fasilitas umum yang ada saat itu. Kemudian mereka mendirikan sebuah ruangan darurat di samping kiri Masjid yang digunakan sebagai tempat belajar sementara bagi anak-anak.

Berkat bantuan berbagai lembaga advokasi seperti YTB dan lembaga lain, akhirnya pada tahun 2013 dibentuk lembaga pemerintah setingkat RW (Rukun Warga). Hingga saat ini, Pulau Kerja memiliki 1 RW dan 2 RT. Lembaga pemerintahan tingkat dasar itu merupakan bagian dari Keluhan Sulamu, Kec. Sulamu, Kab. Kupang, NTT.

Sejak saat itu, layanan pemerintah berupa pembuatan KK dan KTP mulai berjalan, meskipun hingga saat ini belum tuntas semuanya. Selain itu, perhatian terhadap pendidikan juga lumayan baik. Kini sudah ada bangunan sekolah yang jauh lebih layar, meski masih berupa bangunan semi permanen.

Menurut Pak Hamdan, keluhan utama masyarakat saat ini berfokus pada fasilitas kesehatan. “Kita sudah sering omong dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan pihak pemerintah, tapi sampai saat ini belum juga ada,” tambah Pak Hamdan.

Kalau Sakit, Kami Berdoa Saja

Setelah Pak Hamdan banyak mengeluh tentang fasilitas kesehatan dasar dan susahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, tim Infokom DWP PPNI NTT lantas menanyakan berbagai penyakit atau keluhan yang sering disampaikan warga.

Menurut Pak Hamdan, masyarakat di sana lebih banyak mengeluh batuk-pilek,  demam, diare, dan sakit pinggang. “Maklum saja, Pak, di sini sebagian besar nelayan yang duduk lama di kapal, makanya sakit pinggang,” jelas Pak Hamdan lebih lanjut.

Jika sudah mengalami sakit, masyarakat biasanya mencari pertolongan ke Kupang. Tapi kalau tidak bisa ke sana, mereka berdoa saja di atas gelas air, kemudian airnya diminum oleh orang yang sedang sakit.

Tim Infokom sempat menanyakan terkait pemanfaatan obat-obat tradisional. Tapi menurut Pak Hamdan, orang-orang Suku Bajo tidak punya kebiasaan menggunakan akar-akar atau daun-daun tertentu untuk pengobatan. “Kami berdoa saja,” tambah Pak Hamdan.

Tim PD PAFI NTT yang sedang bersiap-siang pulang menggunakan kapal motor milik Denbekang Kupang

Apa yang disampaikan Pak Hamdan mengenai jenis penyakit yang sering dikeluhkan warga Pulau Kera, kurang lebih sama dengan hasil pengobatan gratis. Tim Infokom melakukan konfirmasi kepada tim farmasi dari PD PAFI NTT setelah sesi pengobatan gratis berakhir.

Sekretaris II PD PAFI NTT,  Apt. Salmo Doko Rehi, S. Farm, mengatakan sebagian besar warga mendapat obat untuk masalah darah tinggi (hipertensi), obat nyeri lambung, obat batuk-pilek, dan untuk anak-anak diberikan mutivitamin.

“Kami sangat senang bisa dilibatkan dalam pengmas ini,” kata Kepala Instalasi Farmasi RSJ Naimata yang biasa disapa Pak Monce tersebut. “Semoga nanti kami juga bisa dilibatkan dalam kegiatan lain.”

Pak Monce juga menjelaskan, keikutsertaan mereka dalam pengmas ini berkat dukungan dari semua pengurus, khususnya Bapak Tamran Ismail, S.Si, M.P sebagai Ketua PD PAFI NTT. “Pak Tamran sangat senang mendengar kami terlibat dengan progam seperti ini,” tambah Pak Monce.

Pada kesempatan itu, Pak Monce juga mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Komandan Denbekang IX-44-01 yang telah memfasilitasi kapal motor untuk transportasi P/P Tenau-Pulau Kera bagi tim PAFI NTT.

“Terima kasih banyak untuk dukungan trasnportasinya, dan kami juga mohon dukungan semua untuk kesuksesan kegiatan Kongres Nasional PAFI yang akan diadakan di Labuan Bajo pada bulan Juni mendatang,” tandas Pak Monce.

***

Selain masalah kesehatan fisik, masyarakat yang datang mengikuti pengobatan gratis juga dilakukan skrining kesehatan jiwa. Skrining kesehatan jiwa ini dilakukan perawat ahli dari IPKJI NTT, yaitu Ibu Antonia Helena Hamu, S.Kep.,Ns, M.Kep.

Menurut Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Kupang yang biasa disapa Ibu An itu, proses skrining kesehatan jiwa tersebut menggunakan instrumen bernama: SRQ (Self Reporting Questionner). Berdasarkan hasil analisis, terdapat 8 orang yang mengalami Gangguan Mental Emosional (GME) yang mengarah pada gejala neurosis.

“Itu artinya mereka itu mengalami tekanan secara emosional, dan itu adalah masalah kesehatan jiwa,” jelas Ibu An lebih lanjut.

Sebagai akademisi bidang Keperawatan Jiwa, Ibu An lantas memberi saran agar selanjutnya perlu diberikan promosi kesehatan yang lebih terencana. Harapannya, mereka bisa mengatasi masalah tersebut dengan berbagai intervensi yang diajarkan. Atau kalau mengalami masalah yang lebih berat, mereka bisa mencari pertolongan lebih lanjut di rumah sakit.

“Kalau gejala neurosis tadi tidak diatasi lebih cepat, mereka bisa mengalami gangguan yang lebih berat. Karena itu, deteksi dini ini penting sebagai landasan untuk program selanjutnya,” tutup Ibu An.

Ibu Antonia Helena Hamu, S.Kep.,Ns, M.Kep dari IPKJI NTT sedang melakukan skrining kesehatan jiwa pada salah satu warga Pulau Kera

Apa yang Bisa Dilakukan Selanjutnya?

Kegiatan pengmas berakhir sekitar pukul 12.00 WITA, kemudian dilanjutkan dengan makan siang bersama. Setelah makan, rombongan siap-siap kembali ke Kupang. Rombongan terbagi dalam dua kapal motor. Tim PD PAFI menggunakan kapal motor yang difasilitasi oleh Denbekang IX-44-01; sedangkan tim PPNI NTT dan YTB menggunakan perahu motor milik nelayan yang disewa khusus.

Perjalanan pulang cukup menatang, sebab angin bertiup lebih kencang dibanding pagi hari saat berangkat. Kapal motor yang kami gunakan berguncang cukup hebat beberapa kali. Banyak orang yang spontan berteriak, apalagi ketika percikan ombak sesekali masuk ke badan kapal dan membasahi pakaian.

Puji Tuhan, akhirnya semua tim tiba dengan selamat di Kupang. Tim PD PAFI turun di dermaga Tenau, Kupang; sedangkan tim satunya lagi menepi di pesisir pantai dekat Hotel Sotis, Kupang.

Tim PD PAFI NTT yang tiba kembali di Pelabuhan Tenau, Kupang bersama kapal motor milik Denbekang Kupang

Meski pada umumnya gemetar ketika kapal dihantam gelombang, tapi tidak sedikit juga orang berpikir apa yang sebaiknya dilakukan selanjutnya di Pulau Kera. Pak Deni, Pak Marwan, dan rekan-rekan lain dari YTB mulai mendata berbagai masalah yang perlu segera diperbaiki.

Advokasi dengan pemerintah untuk pengadaan faskes atau pustu, imunisasi, sanitasi, dan masalah lainnya…

Saverinus Suhardin (Infokom DPW PPNI NTT)

Artikulli paraprakPentingnya Imunisasi Hepatitis B (HBV)
Artikulli tjetërOrang Tua, Perawat, dan Pemerintah Daerah sebagai Kunci Sukses Imunisasi dan Kesehatan Anak