Oleh: Sirilus Selaka

(Perawat RSUD  Johannes – Anggota HIPERCCI NTT)

 

Rumus menolong diri terlebih dahulu baru menolong orang lain berlaku universal secara teori, tetapi sering berlaku sebaliknya dalam praktik. Kisah legendaris seorang ibu yang mengaku sudah makan demi melebihkan  jatah makan anaknya yang butuh asupan nutrisi di masa pertumbuhan atau kisah heroic. Pater Damian yang rela mati digerogoti microbaterium leprae lantaran totalitasnya dalam menolong penderita kusta, sampai kisah Alkitabiah tentang Yesus yang mengorbankan nyawanya demi keselamatan umat manusia adalah antitesis teori yang juga diadopsi nakes dalam  BHD; aman diri – aman lingkungan – aman pasien.

Adalah terlalu munafik jika seorang perawat mencontohi si ibu yang menahan lapar (makan itu kebutuhan primer) demi  tumbuh kembang dan kasih sayang pada ankanya yang masuk kategori kebutuhan sekunder pada Piramida Maslow. Adalah terlampau naïf jika seorang perawat meniru totalitas pelayanan Pater Damian dalam menolong pasien. Adalah teramat suci jika seorang perawat meneladani pengorbanan Yesus dalam menyelamatkan nyawa sesamanya yang sekarat.

Faktanya, banyak perawat yang munafik, naïf dan sok suci bekerja sukarela dalam melayani, menolong dan menyelamatkan nyawa pasien tanpa pamrih (baca gaji). Kisah sedih seorang perawat fresh graduate perguruan tinggi mentereng yang rela kost, makan-minum, pakai dari kiriman orangtuanya yang merupakan  petani miskin di daerah terpencil.  Dia bekrja sebagai tenaga perawat sukarela/magang demi maintenance ilmu dan skill sambil menunggu peluang test PNS/PPPK. Alumni kampus berakreditasi A dengan IPK 4 ini akhirnya  pulang kampung tanpa kalungan bunga, uang pesangon bahkan ucapan terima kasih karena faskes tempatnya mengabdi tunduk pada tajamnya tanduk regulasi akreditasi; STR, SIP, RKK, SK penempatan dan setumpuk dokumen formalistik lainnya.

Fakta sebaliknya, “Ratusan nakes dari 11 Puskesmas di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur menggeruduk Kantor DPRD Kota Kupang. Mereka protes pembayaran  Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) yang disebut tidak sesuai ketentuan.” (detikbali, 2/11/2022).  Puluhan bahkan mungkin ratusan dari ratusan nakes pendemo tersebut adalah perawat yang secara sadar, tahu dan mau memperjuangkan haknya  yang diabaikann selepas menunaikan kewajiban. Mereka berpikir kritis-realitis; kalau kerja full tapi asap dapur tidak mengepul maka ajal bisa menjemput.

Pertanyaan reflektif, introspektif, investigatif sampai provokatif berformat 5W+1H adalah; Why? Mengapa ini terjadi? Jawaban formalistik-klasik yang bikin pekak kuping adalah; karena terjadi revisi regulasi, perubahan anggaran oleh banggar sangar atau karena defisit anggaran lantaran dialihkan secara serampangan tanpa analisis kebutuhan. Dampaknya, masyarakat sakit yang butuh pelayanan kesehatan terlantar lantaran faskes defisit nakes. Bagaimana tidak defisit? Anggaran untuk rekruitmen nakes  Honda (honor daerah) nihil sampai minus. Formasi nakes sukarela seluas lapangan bola tapi regulasi FIFA-nya  badan akreditasi menutup pintu stadion bagi pemain tanpa nota dinas atau SK Penempatan.

When? Sejak kapan dan sampai kapan? Sejak  Negara Api menyerang dan sampai negara ini lolos piala dunia. Where? Ke mana para nakes mengadu? Ke Kementrian Kesehatan? Ke Istana Negara? Wadaw, It’s so far, so expensive and so difficult race, kata Valentino Rossi.

Who? Siapakah yang bertanggungjawab? Negara wajib bertanggungjawab! Janji manis berbagai pihak untuk segera tuntaskan persoalan tersebut tak jua berbuah manis. Masih banyak tenaga professional yang berstatus jobless, bekerja di bidang lain atau bekerja di bidangnya tapi tidak  digaji  secara proporsional.  Yang lagi viral adalah resah dan gelisahnya nakes berstatus ASN menunggu TPP berbunyi di rekening sebelum Lonceng Natal berbunyi.

How? Perawat wajib mengatasi masalahnya sendiri sebelum mengatasi masalah keperawatan pasiennya.  Caranya? Gampang? Sulit? Gampang-gampang sulit! Gampang akan menjadi sulit jika tidak pernah mencobanya. Sulit menjadi gampang jika mencobanya. Jika gagal, mencoba lagi, lagi dan lagi sampai Albert Enistein berseruh “aha’.

Melakukan demontrasi atau mogok kerja bukan jalan terbaik tetapi  bisa saja dijalani jika negara lalai. Seperti yang diperingatkan oleh Wji Thukul, “ Ketika membicarakan masalah sendiri, penguasa harus waspada dan belajar mendengar. Bila rakyat berani mengeluh itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam. Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan! (Wiji Thukul, 1985).

Sebelum penggerudukan Gedung DPR Jilid-II, siapkan dulu kosep problem solving-nya. Tidak perlu teori  fishbone atau root cause analysis. Perawat punya senjata bernama ASKEP untuk mengatasi masalah pasien. Agar pasien selamat dan perawat tidak sekarat bahkan wafat maka mari memulai dengan  pengkajian, analisis data dan seterusnya sampai evaluasi.

(Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan lomba yang diselenggarakan Bidang Penelitian, Informasi dan Komunikasi DPW PPNI NTT sebagai tindak lanjut Pelatihan Jurnalistik Dasar PPNI NTT).

Artikulli paraprakHIPGABI NTT Siap Gelar Pelatihan BTCLS Akhir Tahun
Artikulli tjetërDPW PPNI NTT Teken Nota Kesepahaman dengan Poltekkes Kemenkes Kupang