Oleh:Jeffry Joridwan O.Beis

(Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya)

Tiga tahun yang lalu, tepat di bulan Desember, kita mendengar kabar di Kota Wuhan tentang munculnya virus baru yang, meneror seluruh dunia, dan kita sebut dengan Virus Corona.

Virus Corona merupakan salah satu virus yang menyebabkan masalah pada saluran pernapasan, sehingga menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan dari yang ringan, sedang bahkan berat.

Hingga saat ini ada 7 jenis corona virus yang diidentifikasi, dan yang kita pernah dengar kasus yang menggemparkan dari ke tujuh virus corona ini adalah SARS, MERS dan yang sekarang ini COVID-19.

COVID-19 ini menyebar melalui percikan air liur dari penderita seperti saat bersin atau batuk, menyentuh benda atau orang yang terinfeksi. COVID-19 menyerang atau terjadi pada siapa saja tanpa pandang bulu dan yang paling rentan terkena COVID-19 adalah anak-anak, lansia dan orang memiliki riwayat penyakit komplikasi.

Hal ini disebabkan karena sistem imun yang rendah pada golongan yang rentan tersebut. Masa inkubasi rata-rata setelah 2-14 hari setelah terinfeksi dan reaksi yang timbul setelah terinfeksi COVID-19 berbeda pada setiap orang, ada yang tidak mengalami gejala apapun walaupun sudah terinfeksi, ada yang mengalami gajala ringan, sedang hingga berat yang dapat menyebabkan kematian.

Akibat dari COVID-19 berdampak pada semua sektor kehidupan, termasuk sosial, dan ekonomi. Pada bidang ekonomi terjadi kerugian besar bagi pedagang maupun pengusaha yang bahkan sampai gulung tikar.

Namun dampak yang paling besar terjadi pada kehidupan sosial yang ditandai dengan munculnya stigma negatif tentang penderita COVID-19. Sebagai contoh dalam penanggulangan COVID-19, yang positif terinfeksi, memiliki kontak erat dengan yang terinfeksi, para pelaku perjalanan lintas daerah diharapkan untuk mengisolasi diri selama 14 hari atau 2 minggu.

Persepsi yang timbul di masyarakat dari aturan isolasi mandiri tersebut justru menimbulak diskriminasi atau mengucilkan. Seperti kejadian yang pernah terjadi yaitu penolakan jasad yang akan dikuburkan, pengusiran tenaga kesehatan dari kontrakan mereka, penolakan orang tanpa gejala yang akan mengisolasikan diri di rumah akibat rumah sakit penuh dan lain sebagainya .

Stigma negatif yang diterima ini tentu saja berdampak pada psikologis seseorang yang terinfeksi maupun tidak terinfeksi. Pada orang yang terinfeksi memiliki tekanan psikis tersendiri, ditambah lagi dengan tekanan sosial menyebabkan sistem imun dari penderita bisa menurun dan memperparah kondisi penyakitnya.

Begitu juga dengan orang yang belum tentu terinfeksi, tapi karena telah memilii riwayat kontak langsung ataupun sebagai pelaku perjalanan, mereka juga mendapat stigma bahwa mereka yang menyebar COVID-19. Akibatnya, mereka tidak mau mengisolasi diri karena takut dikucilkan di masyarakat.

Padahal kita tahu, tujuan utama dari isolasi atau karantina adalah untuk membatasi pergerakan orang yang berpotensi menyebarkan penyakit menular. Jika orang patuh menjalani isolasi, maka tidak akan menularkan ke orang lain dan tentunya dapat diawasi perkembangan inkubasi apabila terinfeksi.

Apa yang bisa kita lakukan sebagai perawat selain memberikan perawatan langsung pada pasien untuk mengatasi efek tidak langsung dari pandemi COVID-18 tersebut? Dalam Ilmu Keperawatan, ada konsep eksitensialisme yang dikembangkan oleh seorang wanita Katolik bernama Josephine Paterson dan temannya Loretta Zderad pada tahun 1976.

Konsep eksitensialisme  ini didasari dari ilmu jiwa, di mana seseorang membantu orang lain lewat pengalaman yang dimiliki oleh masing- masing individu dan bersama-sama mencari solusi dan membuat pilihan yang bertanggung jawab pada setiap individu dan sebagai umat Katolik yang setia pada ajaran Tuhan Yesus Kristus.

Kita sepatutnya menyalurkan cinta dan kasih kepada sesama kita karena kita adalah mahkluk sosial yang memiliki akal dan budi. Bagaimana cara menyalurkan cinta dan kasih di masa pandemi ini?

Hal yang paling mudah dan murah dilakukan bersama-sama adalah menyingkirkan stigma negatif yang ada dengan tidak menyalurkan berita palsu atau hoax; memberikan informasi dari sumber yang benar; memberi dukungan pada sesama kita yang terinfeksi COVID-19 maupun yang menjalani karantina lewat media elektronik seperti pesan dan doa; dan membantu atau mengirimkan bantuan seperti sumbangan makanan kepada sesama kita yang terinfeksi maupun yang sedang bekerja dalam Tim Satgas COVID-19.

Tindakan kecil namun berdampak besar yang lain adalah mengikuti protokol kesehatan yang telah disampaikan oleh pemerintah, yaitu program 3 M. Kita semua diminta untuk menggunakan masker yang baik dan benar—menutupi hidung hingga dagu saat keluar rumah, mencuci tangan menggunakan sabun sebelum dan setelah menyentuh barang atau seseorang dan setelah sampai di rumah, dan menjaga jarak dengan orang lain setidaknya 1 meter dan menghindari kerumunan.

Dengan melakukan hal tersebut kita bukan saja menyelamatkan diri kita tetapi secara tidak langsung kita menyelamatkan orang lain di sekitar kita. Itulah ekspresi cinta dan kasih yang paling nyata.

Artikulli paraprakLomba Menulis dalam Rangka Internastional Nurses Day dan Bulan Imunisasi Anak Nasional 2022 Tingkat DPW PPNI Provinsi NTT
Artikulli tjetërPendidikan Indonesia sebagai Cerminan Sebuah Wajah Baru di Era New Normal