Home Info Sehat Ayah dan Ibu, Inspirasiku di Balik Derita

Ayah dan Ibu, Inspirasiku di Balik Derita

0
4
Penulis bersama pasien-pasien penderita hipertensi

Oleh: Lusia Dalong, S.Kep.Ns.,M.K.M

(Perawat Puskesmas Oemasi dan Pengurus PPNI Kabupaten Kupang)

Ayahku adalah seorang petani pekerja keras. Itulah sosok yang aku kenal dan banggakan sejak kecil. Tak pernah lelah, tak pernah mengeluh, dan selalu menjadikan keluarga sebagai alasan utama untuk terus berjuang. Namun, suatu hari, semuanya berubah.

Waktu itu aku tidak berada di dekat ayah dan ibu. Aku tinggal dan bekerja di Kupang, sementara mereka menetap di kampung halaman kami, Desa Ri’a, Kecamatan Riung Barat. Jarak dan kesibukan sering membuat kami hanya saling sapa lewat telepon. Tapi hari itu, sebuah kabar mengejutkan datang: ayahku terkena stroke.

Keluarga segera membawanya ke RSUD Bajawa, rumah sakit yang ada di kabupaten kami, meski jaraknya cukup jauh dari desa. Mendengar kabar itu, aku langsung memesan tiket dan terbang ke Bajawa. Aku tak ingin terlambat. Aku harus bertemu ayah.

Saat aku tiba, ayah masih berada di ruang IGD. Terbaring lemah. Dokter menyebutnya stroke ringan (hemiparese sinistra), dengan kelumpuhan pada tangan dan kaki kiri. Aku menatap wajah ayahku yang biasanya tegar, kini tampak rapuh. Rasanya seperti dunia runtuh.

Sebagai perawat, aku tahu tangis bukan solusi. Tapi sebagai anak, hatiku hancur. Aku menangis dalam diam. Aku tahu, jika aku tampak lemah, ayah akan mengira kondisinya sangat buruk. Maka aku memaksakan senyum, memberi semangat, menyembunyikan rasa takut.

“Ayah pasti bisa sembuh. Banyak yang stroke-nya lebih berat dari ini dan sekarang bisa berjalan lagi. Kuncinya ada niat dari dalam diri. Bukankah ayah selalu bilang, ‘Bisa karena biasa. Kenapa orang lain bisa, dan kita tidak bisa?’” kataku sambil menggenggam tangannya. Ayah mengangguk dan tersenyum. Dalam canda, aku berkata, “Nanti setelah sembuh, rokoknya dinaikkan jadi lima bungkus sehari, ya. Kopinya juga kita tambah jadi delapan gelas sehari.” Ayah tertawa kecil dan menjawab pelan, “Saya tobat.”

Sebelum sakit, rokok dan kopi adalah ‘teman setia’ ayah. Dua hal sederhana yang katanya membuatnya semangat bekerja. Tapi kini semuanya berubah. Tak ada lagi rokok, tak ada lagi kopi. Dan semangat itu, perlahan juga meredup.

Setelah lima hari dirawat, ayah diperbolehkan pulang. Kondisinya sedikit membaik, meski belum pulih sepenuhnya. Ia mulai bisa menggerakkan kaki dan tangannya, meski masih tertatih. Aku pun harus kembali ke Kupang untuk bekerja. Ayah kembali ke desa, melanjutkan pemulihan.

Sebagai anak-anak, kami merasa inilah saatnya kami berbalik merawat ayah. Kami ingin ia tetap merasa bahagia, meski tanpa rokok dan kopi. Maka kami menggantinya dengan susu manis yang ia suka. Kami juga melarang ayah bekerja, ia hanya beraktivitas ringan di rumah. Kami pikir itu lebih sehat. Namun tanpa sadar, kebiasaan baru itu menjadi jalan masuk bagi penyakit lain: diabetes.

Selama delapan tahun, kami tidak menyadari bahwa perhatian kecil yang kami anggap baik justru perlahan merusak tubuh ayah dari dalam. Hingga akhirnya, pada 7 Juli 2025, stroke kedua menyerang, kali ini jauh lebih parah. Bagian kanan tubuhnya lumpuh. Bahkan kaki dan tangan kiri yang dulu sempat membaik, kembali tak berfungsi. Ayah benar-benar tak bisa bergerak sama sekali. Berbicara tidak jelas, duduk dan makan pun semua butuh bantuan.

Kami segera membawanya ke RS Bajawa, namun karena keterbatasan fasilitas, kami memutuskan merujuknya ke rumah sakit di Kupang. Ayah dirawat selama empat hari, dan kondisinya mulai stabil meski harus rawat jalan. Tapi saat kami mulai bernafas lega, cobaan lain datang: ibu mengalami stroke pada 24 Juli.

Ibu adalah pengidap hipertensi kronis. Ia sangat disiplin minum obat, rajin kontrol. Namun kelelahan fisik dan mental karena merawat ayah, ditambah beban emosional yang berat, membuat tubuh ibu menyerah.

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, ibu dilarikan ke rumah sakit. “Stroke non-hemoragik,” kata dokter. Untungnya, ia mendapat penanganan dalam waktu kurang dari empat jam. Setengah jam setelah penanganan, ia mulai bisa menggerakkan tangan dan kaki kirinya. Namun kesadarannya terganggu. Ibu kehilangan sebagian ingatannya. Ia hidup dalam masa lalu, tangannya terus bergerak seolah sedang menampi beras, menyendok nasi, seperti biasanya orang yang sedang bekerja. “Saya sedang masak bubur buat bapakmu,” kata ibu ketika kami bertanya. Kami hanya bisa saling pandang, menyembunyikan air mata yang tak lagi bisa dibendung.

Setelah empat hari di ICU dan tiga hari di ruang rawat, ibu diperbolehkan pulang. Fisiknya perlahan pulih, namun kondisi psikologisnya belum stabil. Di tengah keterpurukan itu, aku bersyukur, karena kami bertiga, anak-anak mereka, sedang berada di Kupang. Ayah dirawat di rumahku. Ibu di rumah kakakku. Kami bahu-membahu, menguatkan satu sama lain.

Penulis bersama kedua orang tuanya yang merupakan sumber kekuatan dan inspirasi dalam mengejar impian dan berdampak bagi sesama

Sambil menjaga kedua orang tua kami yang sedang berjuang, aku kembali menatap masa depan yang sempat tertunda, pendidikan magister yang tengah aku jalani. Awalnya, topik tesis yang ingin aku ambil berkaitan dengan pemberdayaan kader posyandu. Tapi kini, setelah menyaksikan langsung perjuangan kedua orang tuaku, aku sadar: aku harus menulis sesuatu yang bermakna, sesuatu yang bisa mencegah orang lain mengalami hal yang sama.

Aku memilih meneliti tentang edukasi hipertensi dan kepatuhan pengobatan. Aku ingin menyuarakan pentingnya deteksi dini, kepatuhan berobat, dan kesadaran pasien terhadap risikonya. Aku tak ingin ada lagi keluarga yang harus kehilangan semangat hidup seperti ayahku, atau kehilangan sebagian ingatan seperti ibuku. Aku ingin semua orang tahu bahwa edukasi sederhana bisa menyelamatkan masa depan.

Dalam penelitian ini, aku menggunakan dua media utama untuk edukasi: leaflet dan kartu kontrol pengobatan. Leaflet dipilih karena kondisi geografis Puskesmas Oemasi yang belum sepenuhnya terjangkau internet, serta keterbatasan kepemilikan perangkat elektronik di masyarakat. Leaflet yang sederhana, praktis, bisa dilipat dan dibawa ke mana saja, terbukti efektif menyampaikan informasi kesehatan.

Selain itu, aku menggunakan kartu kontrol pengobatan sebagai upaya meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani periksa rutin dan mengonsumsi obat secara teratur. Kartu ini berisi kolom keluhan, hasil pemeriksaan tekanan darah, jenis dan dosis obat, serta jadwal kontrol berikutnya. Konsep ini aku adopsi dari kartu kontrol pasien tuberkulosis (TB), yang terbukti efektif meningkatkan kepatuhan. Harapannya, kartu ini bukan hanya pengingat, tetapi juga pengikat tanggung jawab pasien terhadap kesehatannya sendiri.

Puji Tuhan, hasilnya nyata. Pasien-pasien hipertensi yang dulu tidak patuh minum obat, yang tekanan darahnya selalu tinggi, mulai sadar dan rutin berobat. Banyak dari mereka yang semula menderita hipertensi berat, kini tekanan darahnya menurun, bahkan ada yang kembali normal.

Aku tahu, dampaknya tak akan terlihat besar dalam semalam. Tapi jika dari sepuluh orang, satu saja berhasil menghindari stroke karena edukasi ini, maka perjuanganku tidak sia-sia.

Dan jika ada satu hal yang aku pelajari dari semua ini, maka itu adalah: di balik derita yang panjang, selalu ada kekuatan yang luar biasa. Bagiku, kekuatan itu adalah ayah dan ibuku. Mereka bukan hanya orang tua, tapi inspirasiku.

Salam sayang,
dari seorang anak yang ingin menyelamatkan lebih banyak ayah dan ibu di luar sana.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here