Dewan Pengurus Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur (DPW PPNI NTT) merayakan Hari Perawat Internasional dengan menyelenggarakan webinar keperawatan pada Jumat (12/05/2023) pukul 09.00 WITA.
Kegiatan yang berlangsung melalui Zoom dan disiarkan secara lewat YouTube DPW PPNI NTT itu mengusung topik yang sedang hangat dibicarakan saat ini, yaitu: Mengenal Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law.
Panitia menghadirkan tiga narasumber yang memiliki kepentingan terkait RUU tersebut. Mereka adalah Dr. H. Edy Wuryanto, S.Kp.,M.Kep selaku Anggota Komisi IX DPR RI; Dr. Harif Fadhillah, S.Kp, SH, M.Kep,MH selaku Ketua Umum DPP PPNI; dan dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid selaku Kabiro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI.
Ketua DPW PPNI NTT, Aemilianus Mau, S.Kep.,Ns, M.Kep, dalam sambutan pada seremonial pembukaan menguncapkan terima kasih kepada seluruh narasumber dan peserta yang mengikuti webinar tersebut. Menurutnya, di tengah riuhnya aksi nasional menolak RUU Kesehatan, saat ini masih banyak perawat yang belum bagaimana proses penyusunan, isi, dan pembahasannya.
“Kita bersyukur pembicara yang memahami masalah bisa hadir di tengah kesibukan masing-masing untuk berbagi informasi, sehingga kita paham dan bisa mengambil sikap,” kata Aemilianus Mau, lalu membuka webinar keperawatan tersebut secara resmi.
Asal-usul RUU Kesehatan Omnibus Law
Dr. Florentianus Tat, S.Kp.,M.Kes, Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Kupang yang berperan sebagai moderator pada webinar tersebut, memberi kesempatan pertama kepada Edy Wuryanto untuk menjelaskan perkembangan terkini proses pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law di DPR RI.
Edy Wuryanto mengakui, saat ini belum ada informasi yang resmi karena prosesnya sedang berjalan. Menurutnya, kondisi itulah yang membuat dirinya tidak menyiapkan materi presentasi secara tertulis, karena semua kemungkin bisa terjadi; masih banyak yang bisa berubah seiring berjalannya waktu.
Meski demikian, Anggota DPR RI yang berlatar belakang sebagai perawat itu tetap berupaya menjelaskan latar belakang sampai munculnya RUU Kesehatan Omnibus Law yang diinisiasi oleh DPR RI. Menurutnya, RUU tersebut merupakan wujud niat luhur dari negara ini yang mulai serius dibahas sejak 2019 untuk untuk menjawab kebutuhan rakyat.
“Kita paham regulasi di bidang kesehatan ini banyak sekali. Sementara itu, hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan belum terpenuhi dengan baik,” imbuh Edy Wuryanto.
Ada beberapa masalah di bidang kesehatan yang menurut Edy Wuryanto, penyelesaiannya membutuhkan penyederhanaan aturan atau UU. Misalnya harapan untuk bisa menerapkan Universal Health Coverage (UHC), yaitu semua penduduk bisa menikmati fasilitas pelayanan kesehatan yang sama tanpa memikirkan biaya, saat ini belum bisa terwujud.
Menurutnya, UHC itu belum terwujud karena masalah pemerataan pelayanan kesehatan atau akses yang tidak merata. Kemudian masalah pemerataan layanan kesehatan itu, lanjut Edy Wuryanto, disebabkan karena obat dan alat kesehatan yang masih mahal karena impor; dan SDM kesehatan—khususnya dokter spesialis—yang masih kurang dan sebarannya masih timpang antara kota besar dan daerah pelosok di Indonesia.
Selain itu, menurut Edy Wuryanto, ada lima instrumen SDM kesehatan—pemerintah, konsil, kolegium, organisasi profesi, dan majelis kehormatan etik—yang selama ini perannya saling tumpang tindih; saling mengunci, sehingga timbul adanya kesan ‘menghambat’ bagi tenaga kesehatan.
Edy Wuryanto menilai, RUU Kesehatan Omnibus Law nantinya bisa mereposisi peran kelima instrumen SDM kesehatan tersebut. Menurutnya, pemerintah diatur berfokus mengurus perizinan (SIP: Surat Izin Praktik); konsil mengurus registrasi (STR: Surat Tanda Registrasi) yang hanya dibuat sekali; kolegium mengatur atau menata standar pendidikan; organisasi profesi (OP) bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan masing-masing anggota; dan majelis kehormatan etik bertanggung jawab menyelenggarakan sidang etik (kalau terjadi masalah) sebelum tenaga kesehatan diproses ke ranah hukum.
Selain itu, Edy Wuryanto juga menjelaskan urgensi RUU Kesehatan Omnibus Law itu untuk mendukung Smart Health Care, yaitu layanan kesehatan yang memanfaatkan kemajuan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Termasuk mengatur tenang kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.
Meski demikian, Edy Wuryanto mengakuai proses pembentukan RUU Kesehatan Omnibus Law ini tidak mudah karena harus mengubah 10 UU menjadi 1 UU Kesehatan yang baru. “Pro kontra pasti tinggi karena mengubah banyak hal,” tambah Edy Wuryanto.
Sebagai bagian dari profesi perawat, Edy Wuryanto juga tetap memperjuangkan agar UU No.38 tentang Keperawatan tetap dipertahankan. Tapi, ia mengaku tidak bisa menjanjikan apa-apa saat ini, karena semua masih berproses. Kalau memungkinkan, dirinya berkomitmen untuk terus menyuarakan aspirasi perawat atau PPNI di DPR RI.
Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, narasumber kedua yang mewakili Kementerian Kesehatan RI memberi penjelasan yang kurang lebih sama dengan penjelasan Edy Wuryanto. Secara umum ia menjelaskan bahwa RUU Kesehatan Omnibus Law ini merupakan inisiatif DPR RI dan setelah masuk ke tahap telaah pemerintah, Kemenkes RI ditunjuk sebagai koordinator bersama kementerian lain untuk meminta masukan masyarakat (public hearing) hingga tersebut DIM (Daftar Isi Masukan).
“Tanggal 5 April kemarin, pemerintah sudah menyerahkan DIM RUU Kesehatan Omnibus Law untuk dibahas lebih lanjut,” ungkap dr. Siti Nadia Tarmizi.
Pada kesempatan itu, dr. Siti Nadia Tarmizi memaparkan berbagai alasan pentingnya pembentukan RUU tersebut yang isinya kurang lebih sama dengan apa yang sudah dijelaskan Edy Wuryanto sebelumnya. Khusus untuk organisasi profesi, dr. Siti Nadia Tarmizi mengakui tidak disebutkan secara jelas dalam RUU tersebut. Tapi, menurutnya aturan yang berkaitan organisasi profesi akan diatur pada peraturan turuanannya.
“Kita (pemerintah) tentunya tetap membutuhkan kerja sama dengan organisasi profesi,” tegas dr. Siti Nadia Tarmizi.
Alasan PPNI Menolak RUU Kesehatan Omnibus Law
Ketua Umum DPP PPNI, Harif Fadhillah, memberikan pandang organisasi profesi perawat tentang RUU Kesehatan Omnibus Law. Sejak awal dirinya menegaskan, bahwa apa yang diutarakannya merupakan sikap resmi organisasi hasil rapat pimpinan nasional yang melibat Ketua DPW PPNI Provinsi se-Indonesia; bukan sikap individu.
Secara umum, Harif Fadhillah menjelaskan bahwa pada dasarnya PPNI sangat mendukung upaya transformasi kesehatan yang dilakukan pemerintah. Namun menurutnya, ketika transformasi itu harus melalui banyaknya perubahan regulasi—khususnya pencabutan UU No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan—maka PPNI merasa terganggu dan berusaha menentang upaya tersebut.
Harif Fadhillah lantas mengingatkan sejarah UU Keperawatan yang diperjuangkan hampir 30 tahun lebih dan sebelum disahkan pada tahun 2014, perawat itu seperti anak tiri karena tidak ada regulasi yang jelas dalam negara. Selain itu, ia juga menerangkan bahwa impian memiliki UU sendiri itu merupakan impian dari pada pendahulu perawat sejak zaman dulu, sehingga kita perjuangkan adanya UU Keperawatan.
“Tapi, ketika ada berita UU Keperawatan mau dicabut, ini yang membuat kita tidak terima,” tegas Harif Fadhillah.
Lebih lanjut, Harif Fadhillah membeberkan alasan esensial di balik penolakan PPNI terhadap RUU Kesehatan Omnibus Law. Menurutnya, RUU Kesehatan yang akan menggantikan UU Keperawatan tersebut tidak memuat norma-norma yang sudah ada sebelumnya. Ia menyebutkan hanya ada yang terkait SDM kesehatan, tapi ketentuan yang mengatur apa itu perawat, kejelasan mengenai praktik perawat, tugas dan wewenang perawat, dan unsur penting lain terkait eksistensi perawat sudah tidak ada lagi.
Berdasarkan argumentasi pemerintah, aturan detail mengenai hal itu akan dibuat dalam peraturan turunan seperti perauturan pemerintah, permenkes, dll. Tapi, Harif Fadhillah menilai prosesnya akan lambat dan kepentingan perawat tersebut tidak akan diprioritaskan pemerintah.
Keraguan PPNI itu juga beralasan, lanjut Harif Fadhillah, apalagi dalam RUU Kesehatan tersebut ada perbedaan SDM kesehatan yang terbagi dua, yaitu: tenaga medis dan tenaga kesehatan. Menurutnya, fakta tersebut menunjukkan pemerintah masih berorientasi pada tenaga medis (dokter) atau “medical oriented”, sedangkan perawat dan tenaga kesehatan dinilai kurang penting.
Di akhir sesi webinar, Harif Fadhillah mengingatkan bahwa pada saat yang sama dunia sedang merayakan Hari Perawat yang mengusung tema: Our Nurses. Our Future. Menurutnya, secara global perawat mendapat pengakuan dan penghormatan yang luar biasa dan ia berharap pemerintah kita juga bisa memperlakukan perawat sebagai investasi yang penting bagi kesehatan bangsa.
“Tingkatkan semangat untuk terus berjuang lebih baik, salah satunya dengan tetap mempertahankan UU Keperawatan,” pesan Harif Fadhillah kepada perawat.
Penulis: Saverinus Suhardin (Infokom DPW PPNI NTT)