DPD PPNI Kabupaten Sumbar Timur menggelar musyawarah daerah (Musda) III pada Jumat (25/11/2011) lalu di Gedung Nasional Umbu Tipuk Marisi, Jl. Ir. Soekarno No.1, Waingapu, dan salah satu kegiatannya seminar keperawatan dengan tema: “Perawat Siap Berkolaborasi Mencegah dan Menurunkan Stunting di Kabupaten Sumba Timur.”
Seminar yang juga terbuka secara daring dengan media Zoom sehingga bisa melibatkan banyak perawat itu menghadirkan tiga narasumber. Pertama, Lu Pelindima, S.Sos selaku Asisten III yang mewakili Bupati dan Pemda Sumbar Timur memberikan materi dengan topik: Kebijakan Penangan Stunting di Kabupaten Sumbar Timur.”
Narasumber kedua merupakan Ketua DPW PPNI Provinsi NTT, Aemilianus Mau, S.Kep.,Ns, M.Kep yang menyampaikan materi tentang “Peran Perawat dalam Pencegahan dan Penangan Stunting.” Kemudian dilanjutkan dengan narasumber ketiga, Melkisedek Landi, S.Kep,Ns., M.MedEd selaku Ketua DPD PPNI Sumba Timur yang menjelaskan seputar strategi perawat desa dalam menangani stunting.
Berdasarkan data yang dipaparkan Lu Pelindima, kasus stunting di Sumba Timur memang terbilang cukup banyak, tapi sudah menunjukkan tren penurunan yang konsisten dari tahun ke tahun. Presentase masalah gizi kurang, gizi buruk, bumil KEK dan stunting mencapai 27,1% pada tahun 2019, dan pada tahun 2022 tersisa 14,9%.
“Penurun itu berkat kerja keras banyak pihak, termasuk peran Anda sekalian sebagai perawat,” kata Lu Pelindima yang disambut tepuk tangan hadirin.
Meski sudah mengalami perubahan yang lebih baik, Asisten Administrasi Umum Pemda Sumba Timur tetap berharap agar semua stakeholder tetap saling bekerja sama, termasuk profesi perawat yang bernaung di bawah organisasi profesi PPNI.
Menurutnya, selama ini Sumba Timur telah menghasilkan berbagai inovasi penanganan stunting, tinggal diteruskan dan dikembangkan sesuai kebutuhan masyarakat. Berikut ini beberapa inovasi Pemda Sumba Timur dalam mengurai masalah stunting yang berhasil diringkas Tim Infokom DPW PPNI NTT.
Pertama, program orang tua asuh yang dijalankan atas instruksi Bupati Sumba Timur sejak 2021 lalu. Program ini mengatur setiap pegawai pemerintah yang memiliki pangkat atau jabatan strategis untuk menjadi orang tua asuh bagi bayi/balita yang mengalami stunting. Program ini sudah bejalan dengan baik dan dinilai memberi efek yang positif.
Kedua, inovasi yang dilakukan oleh PKK Sumba Timur dengan melakukan revitalisasi Dasa Wisma PKK. Program ini dijalankan dengan cara memfasilitasi ibu asuh dan ibu ASI untuk anak yang ibu kandungnya tidak bisa menyusui atau menyediakan makanan tambahan (PMT). Selain itu, ada juga pembuatan “Kebun Perang Stunting” yang mengintegrasikan kebun dengan kolam ikan dan kandang ternak sebagai sumber nutrisi keluarga.
Ketiga, terdapat gerakan bernama: Waijelu Tolak Stunting. Gerakan bersama tersebut dilakukan di Kecamatan Wulla Waijelu dengan wewajibkan semua aparat desa, pegawai kecamatan, dan kepala puskesmas untuk menjadi orang tua asuh bagi anak gizi buruk, gizi kurang, stunting dan ibu hamil KEK.
Keempat, ada inovasi “Selimut Cantik” (Selamatkan Ibu Hamil dari Risiko Tinggi Kehamilan dan Cegah Stunting pada 1000 Hari Pertama Kehidupan) di Kecamatan Pandawai. Kegiatannya berupa kelas bagi ibu untuk sosialisasi tentang stunting dan informasi kesehatan terkait, memberikan makanan bergizi seimbang pada anak lewat program “Kami Bergizi”, dan pemberian susu pada anak stunting.
Kelima, program orang tua asuh di Kecamatan Umalulu dimodifikasi menjadi: Gerakan Orang Tua Asuh. Aktivitasnya berupa kolaborasi antara pelaku usaha, perbankan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan kepala puskesmas untuk menjadi anggota tua asuh bagi balita gizi buruk, gizi kurang dan stunting.
Keenam, ada program “Kelas Ibu Cegah Stunting” di Kecamatan Kota Waingapu. Kegiatannya berupa pemberian sosialisasi pada ibu bayi/balita dan ibu hamil tentang pemberian makanan bergizi seimbang bagi anak, serta edukasi terkait kesehatan reproduksi.
Ketujuh, terdapat aksi bernama: Dharma Wanita Peduli Stunting di Posyandu. Aktivitas rutinnya berupa pemberian bahan makanan bagi balita stunting, edukasi Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pembuatan kolam ikan air tawar, dan pembuatan bedeng sayur.
Kedelapan, ada juga gerakan yang dilakukan oleh komunitas yang menamai kelompoknya dengan sebutan: Alumni Sekolah Peduli Stunting (Waingapu Ceria). Kegiatannya berupa edukasi dan aksi langsung pemberian bantuan nutrisi bagi keluarga yang memiliki anak stunting.
Pada akhir sesi penyampaian materi seminarnya, Lu Pelindima berharap agar perawat yang tergabung dalam PPNI bisa terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menangani stunting, termasuk untuk menemukan inovasi baru yang dibutuhkan masyarakat. “Penanganan stunting ini butuh kerja sama dan kerja keras kita semua,” tandasnya.
Perawat Sangat Beperan
Pembicara kedua, Aemilianus Mau, S.Kep.,Ns, M.Kep, membahas seputar persiapan perawat delam menangani stunting. Ketua DPW PPNI NTT dua periode yang akrab disapa Pak Willy itu memberikan penyegaran materi tentang penangan stunting berdasarkan perkembangan hasil riset terkini.
Selain itu, Pak Willy juga menekankan berbagai peran yang bisa dilakukan perawat dalam membantu pemerintah untuk memerangi masalah stunting. Menurutnya, perawat bisa beperan sebagai pemberi asuhan keperawatan secara langsung kepada bayi/balita penderita stunting dan keluarganya. Perawat juga bisa menjalankan peran sebagai advokat, edukator, koordinator, kolaborator, konsultan, pembaharu/peneliti, dan sebagainya.
Karena besarnya peran perawat tersebut, Pak Willy mengharapkan agar perawat terus-menerus mengembangkan kemampuan diri. “PPNI telah berkomitmen untuk terus melakukan perannya dalam mengawasi dan mengotrol kualitas anggota. Semoga kita bisa terus bersinergi untuk memberikan hasil yang baik,” tutupnya.
Sementara itu, Melkisedek Landi, S.Kep,Ns., M.MedEd yang menjadi pembicara ketiga saat itu lebih menekankan tentang strategi yang bisa dilakukan perawat, khususnya yang bekerja di desa, dalam mencegah dan menangani stunting.
Ketua DPD PPNI Sumba Timur itu menggambar masalah atau tantangan yang dihadapi perawat di desa dalam penanganan stunting. Masalah itu di antaranya kekurang alat antropometri di posyandu, kerja sama lintas sektor yang belum terintegrasi, tingkat pengetahuan ibu dan anggota keluarga yang masih rendah, ketersediaan dan akses air bersih dan jamban sehat yang masih susah, IMD dan ASI tidak ekslusif tidak diterapkan, pemberian makanan anak yang kurang variatif, dan ada keyakinan yang menganggap tabu pada jenis makanan tertentu.
Karena itu, Melkisedek Landi yang sehari-hari juga bekerja sebagai dosen di Prodi Keperawatan Waingapu Poltekkes Kemenkes Kupang itu berharap perawat yang bekerja di desa-desa bisa menunjukkan perannya dalam mengatasi masalah yang menjadi salah satu persoalan kesehatan di NTT tersebut.
Menurutnya, secara umum perawat desa bisa berperan dengan memastikan seluruh masyarakat desa mendapatkan penyuluhan stunting, anak mendapatkan 5 paket layanan pencegahan stunting secara optimal selama 1000 HPK, pendataan dan pemantauan sasaran serta melaporkan perkembangannya secara berkalan, dan dukungan dana desa untuk pengentasan stunting.
Melkisedek Landi menilai program perawat desa selama ini sudah cukup efektif untuk mengurangi berbagai masalah kesehatan. Karena itu, ia berharap agar kepala puskesmas atau perawat yang bekerja di puskesmas terus melakukan pendekatan dengan pemerintah desa setempat agar memberdayakan tenaga perawat untuk menangani masalah kesehatan, termasuk untuk stunting.
“Apalagi kita saat ini memiliki banyak perawat yang belum terserap di dunia kerja. Kenapa kita tidak berdayakan mereka dengan memanfaatkan dana desa untuk menangani berbagai masalah kesehatan di desa,” tutupnya.
Saverinus Suhardin (Infokom DWP PPNI NTT)